Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP 29) adalah pertemuan tahunan yang bertujuan membahas upaya global dalam menangani perubahan iklim. Tahun ini, COP 29 mengukur sejauh mana dunia telah berkomitmen pada Kesepakatan Paris dan target pembatasan kenaikan suhu global hingga 1,5°C. Namun, dalam perjalanan menuju solusi, masih banyak tantangan, termasuk memahami dan menangani apa yang disebut sebagai “krisis iklim.” MAF mewawancarai Pantoro Tri Kuswardono (Torry), Direktur PIKUL, salah satu pendiri Mama Aleta Fund,dan pegiat lingkungan hidup, yang baru pulang dari Baku, Azerbaijan tempat COP 29 berlangsung sejak 11 – 22 November 2024. Ini adalah bagian satu dari seri wawancara mengangkat isu perubahan iklim.
MAF : Berbagi tanggung jawab ini satu hal yang menarik, karena ini bisa membuka siapa yang paling bertanggung jawab dan apa solusinya, tapi juga membuat keruh penglihatan, seperti yang kita rasakan saat ini tentang solusi-solusi palsu perubahan iklim. Saya ingin kita menelusuri asal-muasal dari krisis iklim, sebenarnya itu apa
Torry: Sebetulnya, istilah yang lebih tepat adalah “krisis perubahan iklim,” meskipun banyak yang menyebutnya sebagai krisis iklim. Krisis perubahan iklim terjadi karena perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia atau antropogenik. (Antropogenik berarti perubahan yang dipicu oleh aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan industrialisasi. Penjelasan lebih lanjut tentang ini dapat ditemukan di laporan IPCC). Aktivitas manusia ini meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, yang pada gilirannya memicu kenaikan suhu bumi.
Mengapa disebut krisis? Karena sistem yang ada—baik sistem sosial, ekonomi, maupun politik—tidak mampu menangani masalah perubahan iklim ini dengan efektif. Sebenarnya, bumi memiliki mekanisme alami untuk memulihkan diri. Tanpa manusia, sistem alam akan kembali seimbang. Namun, dengan keberadaan manusia, terutama dengan sistem ekonomi dan politik yang ada saat ini, pengambilan keputusan sering kali tidak mendukung pemulihan ekosistem. Akibatnya, suhu bumi terus meningkat, dan dampak perubahan iklim semakin tak terkendali.
MAF: Jadi, menurut Anda, krisis iklim lebih banyak dipicu oleh kegagalan sistem manusia?
Torry: Tepat sekali. Krisis iklim yang kita hadapi saat ini merupakan konsekuensi dari aktivitas manusia sejak Revolusi Industri pada pertengahan abad ke-19, terutama penggunaan batu bara sebagai sumber energi utama. Data menunjukkan bahwa sejak tahun 1850, emisi gas rumah kaca mulai meningkat signifikan, yang ditandai dengan pertumbuhan industri besar-besaran dan meningkatnya pembakaran bahan bakar fosil. Industrialisasi yang pesat, khususnya di Eropa dan Amerika Utara, memulai tren ini, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.
Gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2) terakumulasi di atmosfer akibat aktivitas manusia, seperti pembakaran batu bara, minyak, dan gas, serta deforestasi. Pada periode ini, perubahan konsentrasi gas rumah kaca mulai mempengaruhi suhu global, memicu peristiwa seperti kenaikan permukaan laut dan cuaca ekstrem.
MAF: Bagaimana cara menentukan bahwa situasi saat ini kita sedang mengalami krisis iklim?
Torry: Salah satu indikator utamanya adalah kenaikan suhu rata-rata bumi akibat efek rumah kaca yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Masalah ini sebenarnya sudah disadari sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1982-1992, langkah-langkah serius mulai diambil secara global. Misalnya, pada tahun 1988, Panel Antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) didirikan. IPCC ini bertugas memberikan penilaian ilmiah mengenai perubahan iklim, dampaknya, dan kemungkinan langkah mitigasinya. Kemudian pada KTT Bumi tahun 1992 di Rio de Janeiro, lahir Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Perjanjian ini bertujuan untuk mencegah “gangguan berbahaya” pada sistem iklim. Salah satu kesepakatannya adalah menstabilkan emisi gas rumah kaca. 30 tahun manusia mencoba menyelesaikan masalah ini, dengan berbagai kesepakatan, teknologi dll, namun krisis tetap terjadi, sistem yang dibuat tidak mampu menyelesaikannya.
MAF: Menurut Anda, siapa kelompok masyarakat yang paling terdampak oleh krisis iklim?
Torry: Dampaknya sebenarnya sangat tergantung pada lokasi mereka tinggal dan kapasitas mereka untuk menghadapi perubahan tersebut. Misalnya, kelompok masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil adalah yang paling terdampak. Alasannya, dampak awal dari kenaikan suhu bumi adalah kenaikan permukaan laut. Selain itu, karena laut merupakan “mesin cuaca” bumi, kenaikan suhu global menyebabkan gejolak di laut menjadi lebih besar, yang secara langsung memengaruhi komunitas pesisir.
Kita juga tahu bahwa kondisi geografis bumi tidak merata. Wilayah-wilayah dengan rentang iklim yang lebih tipis—seperti daerah dengan curah hujan sangat rendah atau daerah yang sangat dingin—lebih rentan. Di wilayah kering, kekeringan bisa semakin parah, sementara di wilayah basah, hujan bisa menjadi semakin ekstrem.
Selain faktor geografis, aspek sosial dan ekonomi juga memainkan peran penting. Kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi, tidak memiliki tabungan, atau aset, cenderung lebih rentan menghadapi dampak krisis iklim. Pilihan mereka untuk bertahan sangat terbatas dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lebih kaya atau memiliki kekuasaan. Orang-orang dengan sumber daya lebih mampu memilih opsi-opsi adaptasi yang tidak tersedia bagi mereka yang kurang mampu.
MAF: Jadi, dampaknya tidak hanya berdasarkan lokasi, tetapi juga aspek sosial ekonomi?
Torry: Betul sekali. Krisis iklim memperbesar ketidaksetaraan yang sudah ada, baik secara geografis maupun sosial ekonomi. Oleh karena itu, penanganannya harus mempertimbangkan kebutuhan dan keterbatasan dari kelompok-kelompok yang paling rentan ini.
MAF: Bagaimana dampak krisis iklim terhadap penghidupan kelompok urban, masyarakat adat, perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya? Apa saja sendi-sendi kehidupan yang khas dialami oleh masing-masing kelompok rentan ini?
Torry: Dampak krisis iklim pada kelompok rentan bervariasi, tetapi semuanya memiliki keterkaitan dengan akses dan kontrol atas sumber daya yang tercerabut. Kelompok urban miskin, misalnya, lebih rentan karena hampir semua aspek kehidupan di kota bergantung pada uang. Jika sumber penghasilan terputus akibat bencana atau dampak iklim, mereka tidak memiliki cadangan seperti masyarakat pedesaan yang masih bisa mengandalkan kebun atau dukungan komunitas. Dalam masyarakat urban, semakin tinggi ketergantungan pada energi dan sumber daya, semakin besar pula kontribusi mereka pada jejak karbon global.
Perempuan secara sosial dan ekonomi juga lebih rentan dalam menghadapi krisis iklim. Dalam banyak komunitas, perempuan memiliki lebih sedikit aset dan sumber daya dibandingkan laki-laki, yang membatasi pilihan mereka untuk beradaptasi atau bertahan. Beban ganda yang mereka pikul, baik di ranah domestik maupun publik, memperburuk situasi. Misalnya, ketika terjadi kekeringan atau bencana, perempuan sering kali harus berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air atau kayu bakar, yang meningkatkan risiko kesehatan dan keselamatan mereka.
Anak-anak, terutama di komunitas miskin, sangat terdampak karena keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan gizi yang memburuk akibat bencana ekologis. Dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental dan fisik mereka juga signifikan, karena mereka adalah generasi yang tumbuh dalam kondisi lingkungan yang semakin memburuk.
MAF: Dari yang mas Torry sampaikan apakah boleh saya menyimpulkan bahwa dampak ini sangat bergantung pada seberapa luas pilihan yang dimiliki oleh setiap kelompok untuk menghindar dan beradaptasi. Semakin sedikit pilihan yang tersedia, semakin rentan kelompok tersebut. Kalau melihat masyarakat adat bagaiamna?
Torry: Masyarakat adat memiliki kondisi yang unik. Mereka sering kali tidak kaya secara uang, tetapi mereka kaya dalam bentuk sumber daya alam, seperti hutan yang mereka jaga. Selama mereka masih hidup dalam sistem ekonomi subsisten—di mana kebutuhan hidup terpenuhi langsung dari alam—mereka relatif lebih terlindungi oleh ekosistemnya.
Namun, masalah besar muncul ketika tanah adat dan sumber daya alam mereka dirampas. Hal ini membuat mereka menjadi kelompok yang sangat rentan. Parahnya lagi, ekosistem yang mereka jaga sering kali menjadi solusi alami untuk mitigasi perubahan iklim, seperti hutan hujan yang berfungsi sebagai penyerap karbon. Ketika tanah adat diambil alih untuk proyek pembangunan, tambang, atau monokultur, masyarakat adat kehilangan perlindungan alamnya.
Sebenarnya, masyarakat adat memiliki banyak aset yang membuat mereka kuat, jika mengacu pada pendekatan livelihood assets (aset penghidupan). Ada lima jenis aset yang penting:
1. Aset alam – seperti hutan, tanah, dan air.
2. Aset fisik – seperti rumah, peralatan, dan infrastruktur sederhana.
3. Aset finansial – meskipun terbatas, mereka memiliki nilai ekonomi dari hasil alam.
4. Aset pengetahuan – kearifan lokal dan cara hidup yang harmonis dengan alam.
5. Aset sosial – solidaritas komunitas yang kuat.
Sayangnya, ketika aset-aset ini dihancurkan—alamnya dirampas, pengetahuannya diabaikan, solidaritasnya dilemahkan, dan infrastruktur fisiknya dihancurkan—opsi mereka untuk bertahan hidup menjadi sangat terbatas. Ini menjadikan mereka semakin rentan terhadap dampak perubahan iklim maupun tekanan dari luar.
MAF: Tadi kita sudah membahas siapa yang paling terdampak. Menurut Anda, siapa yang menjadi kontributor terbesar dari terjadinya krisis iklim? Dan mengapa mereka menjadi kontributor? Apa kekuatan yang mereka miliki?
Torry: Jika melihat dari sejarah, kontribusi terbesar terhadap krisis iklim datang dari negara-negara yang pertama kali mengalami industrialisasi, terutama negara-negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika Utara. Negara-negara ini merupakan yang paling awal menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar sejak Revolusi Industri. Konsep yang digunakan untuk menggambarkan ini adalah historical emissions atau cumulative emissions. Emisi ini mencerminkan total gas rumah kaca yang dilepaskan sejak industrialisasi dimulai.
Kelompok negara ini menjadi kontributor utama karena perkembangan ekonomi mereka yang berbasis pada eksploitasi sumber daya alam dan penggunaan bahan bakar fosil dalam skala besar. Mereka juga memiliki konsumsi energi yang sangat tinggi untuk mendukung gaya hidup modern yang mewah dan produksi industri besar-besaran.
Negara-negara maju ini memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang besar, memungkinkan mereka untuk terus menggunakan energi fosil sambil memanfaatkan teknologi canggih. Ironisnya, mereka juga sering mendominasi diskusi global tentang perubahan iklim, tetapi tanggung jawab historis mereka sering diabaikan dalam implementasi kebijakan.
Sebagai perbandingan, negara-negara berkembang seperti di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang dulu menjadi koloni negara-negara maju, memiliki kontribusi jauh lebih kecil terhadap emisi global. Namun, negara-negara berkembang inilah yang sekarang menanggung dampak paling besar dari krisis iklim.
MAF: Jika melihat penjelasan Mas Torry tentang siapa yang menjadi kontributor perubahan iklim, apakah bisa dikatakan bahwa masyarakat adat menjadi salah satu kunci dalam mengatasi krisis iklim?
Torry: Ini memang masalah yang kompleks. Kita tidak bisa secara sederhana menunjuk siapa yang menjadi kontributor utama dan siapa yang sepenuhnya bertanggung jawab sebagai pencegah. Namun, yang jelas, pengetahuan dan cara hidup masyarakat adat menawarkan pelajaran penting dalam menghadapi perubahan iklim.
Masyarakat adat memiliki kearifan lokal yang mendalam—mereka tahu batasan dalam memanfaatkan sumber daya alam, tidak melakukan eksploitasi berlebihan, tidak mengakumulasi kekayaan, dan tidak menggunakan teknologi yang merusak lingkungan. Kehidupan mereka berlandaskan pada prinsip keseimbangan dengan alam, yang kontras dengan sistem ekonomi modern yang berorientasi pada pertumbuhan tanpa batas.
Pengetahuan ini seharusnya menjadi dasar dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah dan pemangku kebijakan. Namun, sayangnya, pendekatan ini sering diabaikan, padahal bisa menjadi bagian penting dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Dengan melibatkan masyarakat adat secara aktif dan menghormati hak-hak mereka, kita sebenarnya tidak hanya melindungi komunitas mereka tetapi juga menjaga solusi alami yang mereka pelihara untuk mengatasi krisis iklim global.
MAF: Menurut Anda, siapa saja yang harus berperan dalam mencegah terjadinya krisis iklim? Bagaimana perannya, dan mengapa peran itu penting?
Torry: Itu tergantung dari konteks mana kita melihatnya. Dalam kerangka Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), ada prinsip yang dikenal sebagai Common but Differentiated Responsibilities (CBDR). Prinsip ini mengakui bahwa meskipun semua negara memiliki tanggung jawab dalam mencegah krisis iklim, tingkat tanggung jawab mereka berbeda. Negara-negara industri maju yang sudah mengemisi lebih banyak sejak awal revolusi industri memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan negara-negara berkembang yang kontribusi emisinya lebih kecil, meskipun mereka juga terkena dampaknya.
Lebih jauh lagi, jika kita melihat dari konteks keadilan iklim, tanggung jawab tidak hanya pada pihak yang menghasilkan emisi lebih dulu, tetapi juga pada pihak-pihak yang mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan dan mendapatkan keuntungan besar dari proses itu.
Karena kita hidup dalam sistem berbangsa dan bernegara, pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara. Oleh karena itu, negara berkewajiban melindungi masyarakat, termasuk masyarakat adat, dari dampak perubahan iklim. Hal ini dapat dilakukan dengan menuntut pertanggungjawaban pihak-pihak yang mengeksploitasi, baik dalam bentuk kompensasi, pemulihan kerusakan, maupun langkah hukum seperti pidana.
Peran ini penting karena tanggung jawab tidak hanya soal emisi tetapi juga soal keadilan. Perlindungan terhadap kelompok yang rentan dan reparasi atas kerusakan lingkungan adalah langkah mendasar untuk mencegah krisis iklim semakin meluas.
Penulis: Indah Rahmasari (MAF)