Orang Mollo mengakui bahwa mereka bagian dari alam. Tanah adalah bagian dari tubuh, jiwa, dan asal-usul mereka. Melalui hubungan yang dekat dengan alam, masyarakat adat Mollo—terutama para perempuan—mewarisi pengetahuan tentang identitas, sejarah keluarga, dan batas-batas wilayah hidup. Pengetahuan ini tertanam dalam apa yang mereka sebut sebagai Batu Nama, Pohon Nama, dan Air Nama.
Setiap marga orang Mollo memiliki kaitan dengan tiga elemen: batu, air dan pohon. Misalnya, marga Baun memiliki Batu Nama, Baun yang berarti “penyumpit kelelawar”, merujuk pada leluhur mereka yang hidup di gua dan berburu kelelawar. Jadi batu itu bukan sekadar benda mati, melainkan dipercaya menyimpan nama, asal-usul, dan identitas garis keturunan. Dalam praktik adat, orang tua akan mendatangi batu tersebut sambil membawa sirih pinang dan ayam, lalu memohon izin untuk menggunakan nama dari batu tersebut. Bila diterima, tanda-tandanya bisa muncul melalui mimpi atau pertanda lain seperti aroma kopi yang naik tiga kali dari tungku.
“Pengetahuan kami tidak datang dari universitas. Ia datang dari batu yang kami injak, air yang kami minum, dan pohon yang menaungi kami sejak kecil.” – Mama Aleta Baun
Nama dalam masyarakat Mollo tidak bisa diambil sembarangan. Ia harus lengkap, diucapkan dengan benar, dan mendapat restu leluhur. Dalam konteks pernikahan, misalnya, seorang laki-laki yang ingin melamar perempuan harus menyebut nama lengkap Batu Nama dari pihak perempuan. Jika hanya menyebut sebagian, maka lamaran dianggap tidak sah.
Pengetahuan tentang nama ini dipercaya berhubungan dengan kesehatan anak. Bila seorang anak sering sakit atau menangis terus-menerus, dipercaya bahwa ia sedang kehilangan nama. Maka sang Ibu akan membisikkan doa, menanyakan siapa yang datang, dan melakukan ritual ringan dengan sirih pinang agar nama kembali dan sang anak tenang.
Pengetahuan seperti Batu Nama, Pohon Nama, dan Air Nama adalah bentuk relasi yang menubuh antara manusia dan alam. Ia tidak tercetak dalam buku, tapi diwariskan dari generasi ke generasi melalui pengalaman langsung. Pengetahuan ini juga menjadi dasar untuk mempertahankan wilayah, identitas, dan martabat mereka sebagai manusia yang tidak terpisahkan dari alam.
Narasi: Indah Rahmasari dan Mai jebing
Photo: Vembri Waluyas,