“Saya mendapat bibit sorgum dari kampung”
Cerita Maria Loretha tentang awal mula mengenal tanaman sorgum. Di tahun 2000 Loretha bersama keluarga, boyongan pindah dari kota Malang dan tinggal di kampung lahir suami, Yeremias Dagang Letor, Flores Timur. Maria Helan tetangga barunya, menyuguhi menu masakan dari sorgum. Rasanya membuat Loretha terpikat.
Orang Lamaholot, suku yang mendiami kawasan Flores Timur hingga Lembata, menyebutnya wata blolong. Loretha bersama Yeri, panggilan suami, kesulitan mencari bibit sorgum saat berniat menanam. Karena saran teman, Loretha dan Yeri menemukan bulir sorgum warna merah di Desa Noba, Kecamatan Ile bura, sisi tenggara Pulau Flores. Sejak itu Loretha dan suami mulai menanam sorgum di lahan keluarga di Pajinian, Kecamatan Adonara Barat.
Sebetulnya sorgum merupakan pangan sehari-hari, selain jagung, padi ladang, umbi-umbian dan pisang. Hingga tahun 2000, kebiasaan itu masih berlangsung. Pulau Adonara yang didominasi lahan kering, hanya sebagian kecil yang bisa ditanami padi saat musim hujan. Karenanya beras dikonsumsi di kalangan terbatas atau saat acara khusus seperti ritual adat atau pesta.
“Dulu yang biasa makan nasi hanya pegawai negeri, polisi atau tentara”, kata Jack Carvalho yang lahir 60 tahun lalu di pedalaman Adonara. Itu yang membuat beras identik dengan makanan kalangan elit. Di NTT, makanan elit ini dikenalkan oleh Belanda melalui pembuatan padi sawah yang didukung gereja. Ladang-ladang padi beralih menjadi sawah dimulai dari Barat, daerah Manggarai. Sebagian ladang juga beralih menjadi kebun jambu mete pada rejim Orde Baru.
Program beras miskin (raskin) yang bermaksud memberi perlindungan sosial masyarakat karena krisis ekonomi tahun 1998, makin mengubah kebiasaan pangan lokal. Semasa rejim Joko Widodo, nama program itu berubah menjadi beras sejahtera (rastra), hanya hakikatnya sama, memberi bantuan beras pada keluarga yang dikategorikan miskin.
Dampaknya kian mendorong perubahan pola konsumsi pangan warga. Kini mayoritas orang-orang lebih biasa makan beras yang tidak ditanam sendiri, dibanding jagung dan umbi-umbian yang tumbuh di lahan sendiri. Bahkan untuk mendorong “swasembada pangan”, pemerintah melalui tentara Kodim 1624 dan Dinas terkait mencetak 100 ha sawah di Flores Timur, termasuk di Adonara Barat.
Makin mengenal sorgum membuat Loretha yakin tanaman pangan ini cocok ditanam di lahan kering dan lebih tahan terhadap cuaca ekstrim. Pada 2007, ia mulai serius belajar mengenai sorgum dan cara budidayanya. Proses belajar dan keyakinan itu di kemudian hari menghadirkan kembali ingatan tentang pangan leluhur.
Di Adonara, ada legenda Jedo Pare Tonu Wujo yang menceritakan pengorbanan saudara perempuan Lamaholot di masa kelaparan panjang. Lamaholot adalah suku yang mendiami wilayah Flores Timur dan Lembata. Pada suatu masa, terjadi bencana kelaparan menimpa siapa saja. Termasuk satu keluarga dengan delapan anak, tujuh laki-laki dan satu perempuan yang bungsu. Jedo, nama si bungsu ini, mengajak tujuh saudaranya untuk menebas hutan dan membuat kebun.
Setelah kebun selesai dan hujan turun, ketujuh saudara Jedo tidak tahu apa yang akan ditanam. Dalam kebingungan itu, Jedo meyakinkan bahwa “lahan akan menyediakan bahan makanan yang melimpah”. Keesokan pagi di kebun, Jedo meminta tujuh saudaranya untuk menancapkan sebatang kayu di tengah lahan dan meminta menaruh batu ceper, bersisian dengan batang kayu.
Jedo duduk di batu ceper dan berkata pada kakak termuda. “Dengarlah cermat pesan saya, kerjakan apa yang saya minta. Jangan sedih dan takut, pesan ini sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa (Leran Wulan, Tana Ekan). Jedo meminta untuk memenggal kepalanya dan membiarkan darahnya mengalir ke segala penjuru kebun. “Setelah itu pulanglah dan kembali setelah enam hari”, demikian kata Jedo. Dengan hati berat saudaranya melaksanakan pesan itu.
Enam hari kemudian, setiba mereka di kebun sudah tumbuh berbagai tanaman pangan. Seperti padi (taha), labu (besi), jawawut (weteng), jagung (wata), sorgum (wata blolong), dan beragam pangan lain. Cerita tersebut ternyata masih diingat hingga saat ini, yang sebetulnya memberi pelajaran bahwa lahan adalah tempat tumbuh beragam tanaman pangan. Karenanya keseragaman pangan harus dihadapi dengan waspada dan sikap awas. Pelajaran lainnya, perempuan memiliki peran penting dalam pangan orang Lamaholot.
Pada 2014 warga di Likotuden, Desa Kawalelo, Flores Timur, mulai didampingi Loretha untuk mengembangkan sorgum melalui kelompok tani. Di kawasan ini curah hujan hanya 2-3 bulan dalam setahun, sementara kondisi lahan batu bertanah. Petani menanam sorgum tanpa pupuk. Dalam setahun bisa 2-3 kali panen. Mereka tadinya hidup tergantung pada beras subsidi. Seusai panen sorgum, mereka berdaulat pangan dan menolak bantuan beras dari pemerintah.
Maria Loretha yang dikenal dengan “mama sorgum”, melalui gerakan bertani di lahan kering, memberi pendampingan budidaya sorgum yang tersebar di 8 kabupaten, seperti Flores Timur, Ende, Sikka, Nagekeo, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao, dan Lembata. Dia berharap, upayanya membuat pemerintah aktif mendukung dan mempermudah petani Adonara, Flores dan pulau-pulau sekitarnya memulihkan sorgum sebagai sumber pangan yang terjangkau oleh penduduk.















Foto & Teks:
Albertus Vembrianto