Di punggung Mardiana, perempuan dayak Ma’anyan Kalimantan Tengah, lanjung menggantung setia. Terbuat dari anyaman rotan yang lentur, keranjang ini bukan hanya alat angkut, ia adalah perpanjangan tubuh, bagian dari ritme hidup, dan simbol hubungan antara manusia, alam, dan leluhur. Digunakan sehari-hari di kebun atau hutan, lanjung menjadi ruang untuk menyimpan hasil bumi sekaligus pengetahuan lokal yang turun-temurun.

Perempuan Dayak memilih rotan dari hutan, merendamnya, membersihkannya lalu mengayamnya. Ukurannya disesuaikan dengan pengguna: lanjung perempuan lebih pendek dan lentur untuk mobilitas di ladang, sedangkan pria menggunakan lanjung yang lebih kokoh untuk membawa beban berat. Ini juga sebuah refleksi dari pembagian peran gender masyarakat Dayak. Pola pemanfaatan ini memperlihatkan bagaimana kerja dan budaya meresap dalam benda keseharian, menjadikan lanjung bukan sekadar barang, tapi identitas.
Proses Pembuatan yang Menyatu dengan Alam
Membuat lanjung dimulai dari memilih rotan yang tepat di hutan, rotan muda dengan kulit halus dan lentur menjadi pilihan utama. Langkahnya meliputi pemotongan, pembelahan menjadi bilah tipis, dan permukaannya dihaluskan menggunakan pisau atau batu halus untuk menghilangkan serpihan tajam yang bisa melukai tangan. Sebagian helai rotan diberi pewarna alami, seperti lumpur, akar, atau rebusan kayu tertentu, untuk membuat pola dekoratif. Proses anyaman dilakukan dalam tiga tahap: anyaman tunggal, anyaman berganda, dan aplikasi motif dengan pola yang biasanya digambarkan lebih dulu di atas media sebagai panduan (Setiawati, 2015).
Anyaman lanjung tak hanya soal fungsi, tetapi juga membawa nilai simbolis dan spiritual. Pola-pola tertentu melambangkan elemen alam, roh penjaga hutan, atau doa untuk panen melimpah. Pola simetris dan geometris mencerminkan harmoni kosmik, sejalan dengan pandangan kosmologis Dayak. Dalam banyak komunitas, pembuatan lanjung dimulai dengan doa atau permohonan kepada roh penjaga hutan, memperlihatkan hubungan spiritual antara pengrajin dan sumber bahan alam (Visit Bartim, 2019).
Tradisi membuat lanjung tidak diwariskan lewat sekolah, tetapi hidup dalam tubuh-tubuh perempuan: melalui praktik, pengamatan, dan keterlibatan langsung. Anak-anak perempuan belajar dari ibunya bagaimana mengenali rotan terbaik, menumbuk, merendam, menganyam, hingga menyelesaikan bentuk akhir yang kuat dan indah. Pengetahuan ini tidak dihafal, melainkan dihidupi. Maka setiap lanjung adalah hasil dari jaringan ingatan kolektif dan kerja lintas generasi.
Saat seorang perempuan mengenakan lanjung, ia sedang menghidupkan identitas dan wilayah asalnya. Ia membawa lebih dari sekadar hasil panen: ia membawa tradisi, kerja, nilai, dan relasi dengan alam dan leluhur. Dalam upacara adat seperti panen atau persembahan kepada leluhur, lanjung pun turut hadir sebagai wadah sakral.
Lanjung, Bertahan dan Beradaptasi
Kini, meski tas-tas plastik dan kantong modern makin menjamur, lanjung terus bertahan sebagai simbol dan produk budaya. Di beberapa komunitas Dayak, lanjung diproduksi sebagai bagian dari usaha ekonomi berbasis kerajinan tradisional, yang memberdayakan perempuan dan tetap menjaga nilai adat. Anyaman yang dahulu hanya untuk kebutuhan rumah tangga, kini juga dijual sebagai produk budaya yang membanggakan (Penelitian Pariwisata, 2024). Kadang kita temukan lanjung yang dipadukan antara rotan dengan plastik berwarna warni.
Namun, tantangan regenerasi tetap ada. Banyak anak muda tidak lagi tertarik mempelajari teknik anyaman yang dianggap “tradisional” atau “kuno”. Untuk itu, sejumlah lembaga budaya dan komunitas adat mengintegrasikan pelatihan anyaman ke dalam pendidikan lokal dan kurikulum informal misalnya dengan menjadikan pola anyaman sebagai media belajar matematika (konsep simetri dan pola) atau ekologi (pengenalan jenis rotan dan fungsi hutan).



