web analytics
Home » Blog » Lulbas Tata
Refleksi-seorang-Lulbas-Kapur-batu-laut

Lulbas Tata

Ini bukan cerita tentang superhero atau elemen kekuatan dari superhero tersebut. Ini cerita tentang tiga perempuan hebat yang berjuang atas kapur, batu dan laut demi alam dan hidup mereka.

 

Ini pengalaman luar biasa dan kesempatan besar saya ketika menjadi Lulbas. Lulbas dalam bahasa Timor berarti pembawa pesan. Saya bertugas berlajar dari dan menemani Naususu selama belajar dan ketika mereka menjadi motor penggerak di masyarakat. Nausus sendiri dalam bahasa Timor artinya yang menyusui[1]. Sebagai Lulbas, saya bertugas menemani Nausus Meri dan Maria. Menemani tidak hanya dalam artian sempit, tapi bagaimana saya juga menjadi teman bertukar pikiran sekaligus sebagai adik yang belajar pada kakak, anak yang ingin belajar pada Ibu.

 

Kali ini saya menemani Maria mengunjungi tempat yang cukup jauh dari Pulau Timor. Kami berkesempatan bertemu dengan pejuang perempuan lainnya. Bisa dibayangkan betapa senangnya ketika bertemu perempuan hebat lainnya yang juga berjuang untuk Ibu Bumi.

 

Pejuang perempuan pertama yang kami temui adalah Mbak Gunarti dari desa Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Layaknya superhero, elemen yang harus beliau lindungi adalah pegunungan kapur mereka dari serangan tambang dan pabrik semen. Perjuangan beliau dimulai dari 2006, ketika ada rencana pendirian pabrik semen. Mbak Gunarti harus berkeliling ke tujuh desa menemui perempuan-perempuan lain untuk mengajak bersama berjuang menolak pabrik semen.

 

Ketika ditanya mengapa dia fokus mengajak perempuan?.

 

Ia menjawab, “Perempuan khususnya Ibu-ibu itu adalah target dari pengusaha pabrik semen atau suruhannya. Ibu-ibu jugalah yang paling sering di rumah karena suami-suaminya pergi ke sawah. Ketika mereka di rumah dan tidak tahu berita soal pendirian pabrik semen, juga dampak ke lingkungan, juga anak cucu, mereka bakalan menjual tanah atau sawah mereka tanpa sepengetahuan suaminya”.

 

Mbak Gunarti mengatakan banyak yang kaget kalau pabrik semen akan dibangun. Ia juga menjelaskan dampak apa yang akan mereka terima kalau pabrik semen itu berjalan.

Perumpamaan & Simbol

Pengalaman menarik dari perjalanan Mbak Gunarti keliling desa-desa tersebut adalah dia selalu membawa kisah mengenai sapu lidi, dan kisah mengenai gajah dan semut. Mbak Gunarti menceritakan bagaimana sapu lidi akan mudah patah jika berdiri sendiri, tapi jika berkumpul menjadi satu ikatan sama besar akan lebih susah dipatahkan dan lebih mudah digunakan untuk bersih-bersih. Sedangkan, perumpamaan gajah dan semut beliau gambarkan bagaimana semut bertubuh kecil namun jika berkoloni bisa membunuh seekor gajah yang memiliki tubuh jauh lebih besar. Ia menggunakan perumpamaan tersebut sebagai sumber inspirasi bagi perempuan-perempuan lain. Gunarti ingin warga bisa bersatu, kalau bersatu tidak mudah dikalahkan dan menjadi kekuatan menyelamatkan Gunung Kendeng.

 

Pegunungan Kendeng merupakan pegunungan Kapur yang terbentang dari daerah Sukolilo hingga kabupaten Rembang. Artinya, ancaman pendirian pabrik semen tidak hanya di Sukolilo namun menjalar hingga Rembang. Ia mengakui bahwa aksi penolakan terhadap pabrik semen yang dilakukan dari 2006 sementara ini bisa menyelamatkan pegunungan Kendeng dan tanah milik warga di Sukolilo, namun belum untuk Rembang. Meskipun gugatan warga untuk penghentian pabrik semen menang di pengadilan namun pabrik telah berdiri. Oleh karena itu, perjuangan masih terus berlanjut.

 

Mbak Gunarti menganut ajaran Sedulur Sikep. Sedulur Sikep merupakan sebuah komunitas atau gerakan yang mucul sebagai bentuk penolakan terhadap penjajahan Belanda (Rizqi & Rini, 2015: 73). Istilah masyarakat Samin atau Orang Samin menjadi awal adanya penyebutan Sedulur Sikep. Masyarakat Samin sendiri adalah kelompok masyarakat yang berasal dari ketokohan dan ajaran pemimpin mereka yang bernama Samin Surosentiko (Setyaningrum et al., 2017:30). Ajaran saminisme sendiri adalah ajaran untuk menjalankan hidup sesuai nilai-nilai yang diwariskan oleh pemimpin mereka. Namun karena meresa ada tendensi negatif dengan istilah ini, orang Samin lebih nyaman menyebut diri mereka dengan sebutan Sedulur Sikep.

 

Pekerjaan mereka adalah bertani, tidak mengenyam pendidikan formal dan tidak membayar pajak ke pemerintah juga mengurus akte kelahiran atau pun Kartu Tanda Penduduk (KTP). Keengganan mereka mengenyam pendidikan formal sudah terjadi sejak zaman Belanda. Pendidikan formal zaman dulu dianggap sebagai pendidikan untuk mempelajari budaya kolonial dan dimanfaatkan untuk kepentingan kolonial itu sendiri. Bahkan ada anggapan bahwa pendidikan ini akan menggerus budaya lokal masyarakat setempat. Tapi bukan berarti Sedulur Sikep tidak memiliki bentuk pendidikannya sendiri. Saya teringat mbak Gunarti mengajak saya ke Omah Kendeng. Sebuah bangunan dimana mbak Gunarti mengajarkan anak-anak berhitung, membaca, bernyanyi, bermain musik. Anak-anak juga diajarkan soal lingkungan, kebudayaan lokal, dan pertanian termasuk rasa kepedulian kepada alam sebagai ibu pemberi kehidupan.

 

Ketika saya menanyakan umur pada orang Sikep akan selalu dijawab oleh mereka “satu seumur hidup”. Jawaban ini tentu sedikit membingungkan bagi saya. Bagaimana bisa kita cuma punya satu umur seumur hidup? Ternyata, jawaban ini berhubungan dengan kejujuran orang Sikep juga sebagai anggapan bahwa umur seperti kepemilikan atas KTP yang hanya akan dimiliki satu seumur hidup.

 

Perjuangan orang Kendeng penuh dengan perumpamaan dan simbol. Selain sapu lidi juga gajah dan semut, Mbak Gunarti selalu membawa kendi air dan caping selama melakukan aksinya. Kendi air yang terbuat dari tanah liat tersebut sebagai simbol dari “tanah air”. Menurut dia, itulah sosok tanah dan air kita yang harus dijaga. Kalau Pegunungan Kendeng sampai dirusak dan dibangun pabrik semen maka ratusan mata air yang akan rusak dan hilang.

Perjuangan Perempuan, Perjuangan Keluarga

Sosok penting yang selalu mendukung dan mendorong Mbak Gunarti adalah suaminya, Kang Koh. Suami Mbak Gunarti selalu mendukung aksi beliau yang berkaitan dengan penolakan terhadap tambang dan pabrik semen. Mengapa saya menganggap ini penting?.

 

Karena adanya posisi yang sama juga saling dukung antara laki-laki dan perempuan membuat tujuan lebih mudah dicapai. Tanpa memandang laki-laki atau perempuan mereka punya porsi yang sama dalam menjaga alam.

 

Mbak Gunarti menuturkan dalam setiap aksi, perempuan selalu di depan dan laki-laki di belakang. Menjaga agar ketika dilawan oleh pihak berwajib, laki-laki tidak langsung emosi dan kemudian kelompok aksi mereka dicekal dan dituduh melakukan kekerasan. Perempuan yang akan bicara dan bersenandung lagu perjuangan mereka dan laki-laki akan berjaga di belakang.

 

Mbak Gunarti dan sedulur sikep tidak boleh menjual hasil tani mereka. Atau melakukan sesuatu kemudian diperdagangkan, beliau hanya membagikan cara membuat jamu yang diturunkan oleh leluhurnya ke kelompok perempuan yang mayoritas bukan Sikep untuk kemudian dijual dan menjadi kas kelompok untuk biaya selama aksi dan pertemuan persiapan aksi. Namun, saat ini, siapa yang ingin berdagang diperbolehkan namun tidak banyak yang melakukannya. Anggapan dilarang berdagang ini karena merasa lewat perdagangan akan banyak ketidakjujuran nantinya. Selain itu karena sedari awal, Sikep sudah identik dengan mata pencaharian sebagai petani. Bertani dianggap sebagai kegiatan yang bisa menjaga keseimbangan alam. Oleh karena itu, sumber penghidupan datang dari bertani. Hal ini yang membuat mbak Gunarti dan teman-teman bersuara lantang menolak pabrik semen karena berpotensi menghilangkan sumber penghidupan utama mereka.

Refleksi seorang Lulbas
Mama Maria dan Mbak Gunarti berdiskusi tentang peternakan skala kampung (Foto: Mariana Opat)

Apa yang dilakukan Mbak Gunarti sama kuat dan kerasnya seperti perjuangan Mama Maria dan teman-teman bersama Mama Aleta melawan tambang marmer yang mulai masuk wilayah Gunung Batu Naususu 1995.

 

Ibu bumi iwis maringi, Ibu bumi dilarani, Ibu bumi kang ngadili” (Ibu bumi sudah memberi, Ibu bumi disakiti, Ibu bumi akan mengadili).

 

Kalimat di atas membuat merinding ketika langsung diucapkan oleh Mbak Gunarti. Di setiap perjuangan selalu ada mantera penguat, begitupun dengan mantra Mama Maria di Mollo selama menjaga alam mereka yang dipegang teguh sebagai pengingat.

 

Oel nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes on nuif” yang berarti air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu adalah tulang.

 

Mulanya, perbedaan sangat terasa saat pertemuan Mbak Gunarti dan Mama Maria, keduanya memiliki perbedaan bahasa. Bahasa Jawa dan Bahasa Dawan (Timor). Tapi
semakin hari, perbedaan itu nyaris tak terasa, semakin melebur.

 

Ketika akan berpisah, Mbak Gunarti memberi semangat untuk Mama Maria “tetap kuat yah Mama. Sehat terus. Harus berjuang terus. Kita perempuan harus kuat”.

Dari Gunung ke Pesisir

Dari perempuan pejuang di pegunungan kapur, kami melanjutkan perjalanan ke pesisir, bertemu perempuan nelayan. Ini merupakan hal baru bagi saya dan Mama Maria. Apalagi mendengar dan bertemu langsung dengan perempuan nelayan. Nuansa pesisir semakin kental karena bertemu dengan merken langsung di dekat laut Demak, Jawa Tengah.

 

Saya tidak menyangka sebagian besar perempuan turun melaut sendiri, bukan numpang di kapal orang lain atau membantu suami. Hasil yang mereka dapat dalam sekali melaut berkisar antara Rp 50 ribu sampai Rp 200 ribu. Jika tangkapan cukup banyak bisa sampai Rp. 1 juta. Namun itu sangat jarang terjadi. Selain menjual langsung ikan hasil tangkapan, mereka juga mengolahnya menjadi kerupuk atau camilan.

 

Di pesisir Demak, saya bertemu perempuan hebat yang berjuang di laut bersama para perempuan nelayan, Namanya Masnuah atau akrab disapa Mbak Nuk, bersama Mbak Umi dan dan kelompok mereka yang tergabung dalam Persatuan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Organisasi ini dibentuk untuk menyuarakan dan menjadi wadah bagi perjuangan hak-hak perempuan nelayan dan pelestarian laut. Selama hampir sembilan bulan, mereka berjuang untuk diakui statusnya sebaga perempuan nelayan oleh Negara dengan mengubah status pekerjaan mereka di Kartu Tanda Penduduk dari Ibu Rumah Tangga (IRT) menjadi Nelayan.

 

Selama perjuangan, Mbak Umi menceritakan mereka ditolak oleh lurah, camat bahkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Mbak Umi harus terus menerus mengejar lurah atau camat untuk menanda tangani surat perubahan status mereka. Ketika disetujui oleh lurah dan camat, status mereka masih buruh nelayan. Mereka menolak disebut sebagai buruh nelayan karena mereka tidak bekerja di kapal milik orang lain.

 

Menurut Mbak Nuk dan Mbak Umi, patriarki masih sangat kental di wilayah sekitar tempat tinggal perempuan nelayan. Hal ini menjadi salah satu alasan kenapa perubahan status pekerjaan di KTP perempuan nelayan menjadi penting. Saat kami ngobrol dengan perempuan-perempuan nelayan ditemani olahan pangan laut yang nikmat, mereka bercerita bagaimana sering dianggap remeh oleh orang sekitar.

 

Tidak jarang ungkapan seperti “perempuan kok kerjanya di laut” atau “perempuan kok jadi nelayan” sering mereka terima. Namun, ini tidak menyurutkan keinginan mereka untuk terus bekerja. Apalagi, beberapa perempuan adalah single parent yang penghidupannya datang dari melaut. Hal lain mengapa perubahan status ini harus terjadi agar perempuan nelayan bisa mendapatkan jaminan asuransi dari pemerintah jika mengalami kecelakaan kerja atau kerusakan perahu. Salah satu perempuan pernah mengalami kecelakaan pada 2007 namun tidak bisa mendapatkan asuransi karena status pekerjannya adalah Ibu Rumah Tangga bukan Nelayan. Perempuan nelayan berhak mendapatkan hak dan kesempatan yang sama seperti laki-laki.

 

PPNI tidak saja memperjuangkan status para perempuan nelayan saja tapi juga penyelesaian kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, pelatihan mengenai
kepemimpinan dan organisasi, pelatihan mengenai mengolah hasil laut dan juga mengenai pelayanan publik. Menariknya dalam kelompok ini adalah pembagian peran, ada yang bertanggung jawab mengurus hal yang berkaitan dengan pendampingan terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dan juga yang khusus mendampingi dalam hal pelayanan publik.

 

 

 

Setelah Tiga Tahun

“Halo Tata, apa kabar?”.

 

Sebuah pesan singkat masuk ke Whatsapp saya. Saya kenal dengan baik siapa yang mengontak saya, 10 Januari 2023 lalu. Awalnya, saya kira pesan ini akan menjadi basa-basi karena sudah lama juga tidak mengobrol dengan Mbak Siti Maimunah. Tapi tentu dalam hati saya bertanya-tanya dan was-was. “Apakah tulisan saya waktu sekolah ada yang belum selesai?”, pikir saya sejenak. Ah, tapi tidak mungkin. Setelah membalas pesan beliau, saya jadi paham maksud dan tujuannya ternyata untuk membicarakan keberlangsungan Mama Aleta Fund (MAF) ke depannya.

 

Oh, tentu saya bukan orang penting di sini. Tapi mungkin ada semacam ikatan tak kasat mata yang membuat saya cukup penting untuk diajak ngobrol sama Mbak Mai. Lucu juga kalau dipikir-pikir. Ini lebih pada hubungan saya sebagai Lulbas dalam salah satu program yang dijalankan oleh MAF. Pada 2019, saya dihubungi om Dany, beliau bertanya apakah saya cukup lowong karena ada pekerjaan. Saat menyebut bahwa bekerja di yayasannya Mama Aleta saya langsung tertarik. Siapa yang tidak senang dan bangga jika bekerja dengan Mama Aleta. Sosok perempuan yang mungkin dikenal sampai seantero dunia karena perlawanan beliau melawan tambang di Mollo sejak 1996. Saat itu pun, saya berada dalam gairah yang besar pada isu perempuan, lingkungan, dan budaya lokal. Mungkin ini kenapa saya senang menyebut nama saya sebagai perempuan timor.

 

Singkatnya, saya bertugas menjadi Lulbas. Ia melambangkan peranan generasi muda sebagai perekam proses dan penyebar pesan perubahan dari tingkat tapak. Tugas saya waktu itu mendampingi tokoh-tokoh Nausus dalam melakukan peranannya sebagai motor penggerak di masyarakat. Kapur, Batu, dan Laut adalah tulisan refleksi saya saat menemani Mama Maria, salah satu Nausus mengunjungi Mbak Gunarti dan Mbak Nuk. Tulisan refleksi yang sudah berdebu, yang saya buka lagi setelah selesai berbincang dengan Mbak Mai.

 

Ah, saya jadi rindu akan pengalaman dan juga penyesalan karena merasa tidak maksimal dalam melakukannya.

 

Awalnya, semua berjalan dengan baik. Namun, saya merasa pendampingan untuk Lulbas masih cukup lemah. Saya sedikit terombang-ambing. Mungkin saya perlu sharing lebih dalam soal peran dan tugas saya agar bisa menjadi Lulbas yang benar-benar Lulbas. Ada dua Nausus yang terpilih. Mama Maria dan Mama Meri. Hubungan saya lebih dekat dengan Mama Maria. Walaupun komunikasi tetap saya lakukan sampai sekarang dengan kedua Nausus. Tapi untuk bercerita dan melihat langsung kehidupan dan cara hidup Nausus, saya lebih lekat kepada Mama Maria. Hal ini karena saya menghabiskan lebih banyak waktu dengan beliau dengan menemani beliau belajar keluar, saya berkunjung dan belajar dengan beliau di Fatumnasi, juga berdiskusi dengan kelompoknya. Mama Meri hanya beberapa kali
saya temui, itupun bukan di wilayah tempat tinggal beliau. Saya juga tidak menemani beliau ketika belajar keluar. Ada gap yang saya rasakan di sini. Saya belum bisa merekam proses tersebut dengan baik dan menjadi penyebar pesan.

 

Posisi lulbas belum dilihat sebagai posisi yang penting. Saat berefleksi, ini beberapa penyesalan saya dalam hati, andai saat itu saya punya pengalaman ini, anda saya tahu apa yang harus dilakukan saat itu, saya mungkin bisa membantu Mama Maria atau Mama Meri:

  1. Saya merasa belum cukup tinggal lebih lama dengan Mama Maria dan Mama Meri untuk melihat lebih dalam tantangan yang mereka hadapi, jalan keluar yang sudah pernah mereka coba, dan rencana ke depan yang ingin mereka lakukan. Mama Maria dengan struggle kelompoknyya menghadapi keterbatasan akses mereka di kawasan
    cagar alam, Mama Meri dengan struggle mereka terhadap pemasaran tenun dan pewarna alam. Perekaman proses ini tentu akan membuat saya mudah memetakan apa tantangannya, aktor siapa yang bisa kami dekati untuk melakukan advokasi, atau kampanye apa yang bisa kami lakukan.
  2. Sangat sedikit dokumentasi yang bisa saya rekam dalam proses ini. Sebagai orang yang senang mengoleksi hal-hal visual seperti foto dan video, hal ini cukup saya sesali. Saya membayangkan berapa ribu orang yang mungkin bisa melihat foto, video, dan cerita kedua Nausus. Tidak hanya soal bagaimana mereka hidup, mungkin bisa mendukung dengan membeli produk mereka, atau tahu perjuangan Mama Maria ikut melawan tambang dulu, tahu keresahan Mama Meri mengenai pewarna alam yang semakin sulit juga semakin sedikit generasi muda yang paham simbol dan arti warna pada tenun bahkan bisa menenun. Wah, bayangkan jika saya saat itu paham dengan benar, sudah berapa banyak konten pembelajaran yang bisa dihasilkan.
  3. Tantangan Mama Meri menjual tenunannya adalah penyesalan berikutnya. Andai saya lebih ngotot memperhatikan kualitas tenunan, membantu menghubungkan produk
    mereka lebih giat, membangun kerja sama lebih luas dan dengan cara lebih kreatif.
  4. Yang terakhir adalah, tidak ada lagi pendampingan setelah program ini selesai. Saya pikir keberlanjutan sangat penting di sini. Menjaga hubungan dengan perempuan-perempuan yang menjadi Nausus sangat penting. Menjaga hubungan antara Nausus dengan perempuan-perempuan pejuang di luar sana yang sudah dipertemukan lewat program ini sangat penting. Mungkin permasalahan yang dihadapi Mama Maria, Mama Meri, Mbak Gunarti, Mak Nuk, atau perempuan lainnya berbeda tapi mereka tidak bisa dipisahkan. Cerita-cerita perjuangan dan percakapan diantara mereka secara tidak sadar adalah bentuk saling menguatkan dan memelihara perjuangan-perjuangan perempuan ini menjaga alam dan keluarganya.

Semoga, refleksi setelah tiga tahun membuka kembali tulisan ini sedikit melegakan dan bisa menjadi pembelajaran untuk perjuangan perempuan ke depannya.

 

Penulis: Mariana Opat
Editor: Mai Jebing

Leave a Comment

Scroll to Top