web analytics
Home » Blog » Mary Liem
Mery-Liem

Mary Liem

Di Desa Bonle’u, Mary Liem bukan sekadar penenun atau petani. Ia adalah perempuan yang sejak 2014 berdiri di garis depan dalam mengorganisir komunitasnya. Awalnya hanya seorang bendahara kelompok, belakangan ia menggerakkan 20 kelompok tani dan tenun yang beranggotakan lebih dari 320 orang. Bersama mereka, Mary tidak hanya bertani dan menenun, tetapi juga menanam harapan dan merajut perlawanan.

Bagi Mary, bertani dan menenun bukan sekadar cara bertahan hidup. Lebih dari itu, ia melihat bagaimana tanah adat mereka selalu berada dalam ancaman, terutama dari tambang marmer yang ingin menguasai wilayah mereka. Ia dan kelompoknya pernah turun ke Soe, ibu kota kabupaten, untuk menolak rencana tambang yang bisa menghancurkan hutan dan sumber kehidupan mereka. Namun, perjuangan mempertahankan tanah adat bukan tanpa risiko. Sebagai perempuan yang aktif mengorganisir warga, Mary menghadapi tantangan besar, bahkan dari keluarganya sendiri. Kakak laki-lakinya dan orang tuanya sempat menentang keterlibatannya di kelompok. Ia bahkan pernah mengalami pengalaman mati suri yang nyaris membuatnya berhenti. Namun, semangat dari Aleta Baun dan dukungan anggota kelompok membuatnya bangkit kembali.

Mary adalah Nausus angkatan pertama yang mendapat dukungan MAF. Mary percaya bahwa komunitasnya harus berdaulat atas tanah mereka sendiri. “

“Motivasi saya adalah bagaimana warga bisa terus menjaga dan berdaulat di tanah mereka sendiri,” ujarnya pada 2018.

Itulah yang mendorongnya mengikuti proses visioning Nausus, sebuah perjalanan refleksi untuk merancang masa depan perjuangannya. Bersama Maria Sanam, ia memetakan mimpinya dalam pendampingan yang difasilitasi oleh MAF dan Tim Pikul. Proses ini membantunya melihat lebih jelas siapa dirinya dalam komunitas, apa yang ingin ia capai, dan langkah-langkah yang perlu diambil agar harapan itu menjadi nyata.

Di dalam benaknya, Mary membayangkan desanya 20 tahun ke depan. Ia ingin kelompok taninya berkembang, menghasilkan jagung dan padi dalam jumlah lebih besar, sehingga mereka tidak hanya cukup makan, tetapi juga memiliki cadangan untuk masa depan. Ia ingin kelompok tenunnya semakin kuat, menghasilkan lebih banyak kain dengan kualitas yang baik, dan memiliki jaringan pasar yang lebih luas. Ia bermimpi desa mereka memiliki jalan yang lebih baik, memudahkan akses ke kota tanpa harus merusak alam. Yang paling penting, ia ingin budaya dan hutan Bonle’u tetap terjaga, agar generasi mendatang masih bisa merasakan hidup selaras dengan alam seperti leluhur mereka.

Mary menyadari bahwa mewujudkan mimpi itu bukan perkara mudah.

“Membentuk dan mengelola kelompok adalah bagian menjaga kekuatan perjuangan dan menguatkan ekonomi,” katanya. Namun, ia dan kelompoknya mulai dengan langkah-langkah kecil dan nyata. Mereka menyepakati sistem kas kelompok untuk mendukung produksi tenun, meningkatkan standar kualitas kain mereka, dan mencari jaringan pemasaran yang lebih luas. Mereka menanam sayur saat musim hujan dan kembali menenun saat musim kemarau, menyesuaikan ritme hidup mereka dengan siklus alam. Setiap lembar kain yang Mary hasilkan bukan hanya hasil tenunan tangan, tetapi juga tenunan dari sejarah perjuangan, keteguhan, dan impian besar. Ia percaya bahwa selama tanah dan budaya tetap dijaga, perempuan-perempuan di desanya akan terus kuat, berdiri bersama untuk mempertahankan kehidupan mereka.

Scroll to Top