Dua tahun berturut, warga mengalami gagal panen jagung karena cuaca yang tak menentu.
“Itu terjadi antara tahun 2022-2024”, kata Ambrosia Ero yang biasa dipanggil Onci, warga Desa Tapobali, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata. Tahun terparah terjadi di tahun 2023, sebab gagal panen, jagung habis untuk makan. Saat tiba musim tanam, warga terpaksa membeli bibit jagung.
Jagung lokal, dalam bahasa lokal disebut kfarlevon biasanya ditanam bersama-sama dengan kacang hutan atau uta inan, kacang nasi atau uta knoing, kacang racun atau bengo dalam satu kebun. Hanya porsi tanaman jagung memang lebih banyak. Kvarlevon sangat khas, bijinya diolah menjadi jagung titi sebelum dikonsumsi.
Warga biasa melaut pada musim kemarau, berkebun di musim hujan. Namun musim makin sulit diikuti. “Kami biasa bikin kebun saat tanah sudah basah”, kata Henrikus Kilok. Sudah cukup lama musim hujan di Lembata mulai tak tentu. Hanya sejak badai Seroja melanda Lembata dan Adonara, pergeseran musim terasa lebih kentara. Sebelumnya musim hujan terjadi pada Oktober hingga Maret, saat ini bergeser menjadi November hingga April. Di antara Januari-Februari intensitas curah hujan sangat tinggi, disertai angin kencang. Kebun warga Tapobali yang terletak di lereng Gunung Ililabalekan, berbatasan dengan Laut Sawu, terpapar langsung angin dari laut. Saat Januari-Februari itu masa dimana tanaman jagung mulai berbunga dan bersiap berbuah. Angin kencang mematahkan batang-batang jagung sehingga membuat gagal panen.
Sekitar 2017, Maria Loretha bersama Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel) datang ke Pulau Lembata, mengenalkan tentang budidaya sorgum. Sorgum dikenal dengan sebutan Kfarfolot. Onci merasa sorgum yang bisa menjawab perkara pangan di situasi musim yang tak tentu di kampungnya. Itu alasan Onci memilih belajar dengan Loretha. Di kemudian hari ia mengajak teman-teman di kampung untuk membudidayakan sorgum dan membentuk organisasi pemuda/pemudi dengan nama Gebetan.
Gebetan merupakan akronim dari Gerep Blamu Tapobali Wolowutun, yang artinya muda-mudi Tapobali ujung kampung. Akronim tersebut, dalam Bahasa Indonesia punya kepanjangan, gerakan bersama untuk Tapobali yang asri dan nyaman. Itu sekaligus visi Gebetan. Selain membuat kebun kolektif dan menanam sorgum, organisasi ini mulai mengumpulkan dan menggali kembali kisah-kisah masa lalu terkait sejarah kampung dari para orang tua di kampung.
Sorgum sebetulnya tanaman pangan yang dari dulu sudah dipakai dalam ritual adat di Desa Tapobali,” kata Andika, panggilan Henrikus Kilok. Ada dua ritual yang menggunakan benih dan anakan sorgum, yaitu blela dan ferulolo. Blela adalah sejenis sasi atau ritual pelarangan dalam rentang waktu tertentu untuk mengambil atau memanfaatkan sumber daya laut terutama siput yang disebut koborajan. Ritual ini merupakan bagian dari “muro”, tradisi menjaga laut di Lembata dan melindungi koborajan. Sedangkan ferulolo adalah ritus syukuran panen yang ditandai dengan makan sorgum bersama.
Dari cerita-cerita orang tua, sorgum yang di bahasa lokal disebut kfarfolot mulai hilang sejak program swasembada pangan diberlakukan di masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, melalui intensifikasi pertanian sekitar 1970. Sejak itu sorgum mulai ditinggalkan dan hilang, disusul dengan lenyapnya tradisi blela.
Anak-anak muda Gebetan percaya, untuk bisa memulihkan bele dan ferulolo, mereka harus menghidupkan kembali Klarfolot, atau sorgum.















Foto & Teks:
Albertus Vembrianto