web analytics
Home » Blog » Sangketan. Sang Pengusir Sawan & Angin Buruk
Sangketan

Sangketan. Sang Pengusir Sawan & Angin Buruk

Gunarti, perempuan Nausus dari Kendeng, suatu hari bercerita tentang daun tanaman Sangketan, yang sering ditemui di sela-sela batu kapur pegunungan. Baginya, daun ini bukan sekadar tanaman liar, tapi tanaman yang menghubungkan dirinya dengan leluhur, tanah, dan tradisi. Sangketan tumbuh merambat dengan daun hijau pekat berbentuk oval, ujungnya meruncing seperti ujung tombak kecil. Batangnya tipis namun kokoh, mencengkeram erat di antara celah batu, seolah berpegangan pada tanah yang menjaganya. Kadang, bunga-bunga kecil putih kekuningan muncul di antara daunnya, seperti tanda kehidupan yang terus bertahan. “Kalau anak kecil sawan, daun Sangketan direbus. Airnya dipakai untuk memandikan. Kadang juga dibuat kompres. Anak-anak jadi lebih tenang,” tutur Gunarti. Sawan, dalam kepercayaan tradisional, merujuk pada kondisi tidak seimbang yang sering dialami bayi atau anak-anak sehingga membuat mereka rewel, menangis tanpa sebab yang jelas, demam, atau ketidaknyamanan akibat gangguan energi, baik yang berasal dari luar tubuh maupun faktor tak kasat mata.

Daun Sangketan, yang secara ilmiah dikenal sebagai Heliotropium indicum , memiliki senyawa-senyawa tertentu yang berfungsi menenangkan dan melindungi tubuh dari infeksi. Alkaloid di dalamnya diketahui membantu meredakan kejang dan nyeri, sementara flavonoid didalamnya berfungsi sebagai antioksidan, melindungi tubuh dari kerusakan sel akibat radikal bebas. Dalam tradisi Jawa, daun Sangketan juga memiliki nilai spiritual. Ketika seorang anak sakit, para ibu sering kali tak hanya memandikan atau mengompres anak dengan air rebusannya, tetapi juga melafalkan doa-doa. Ini adalah cara untuk mengembalikan keseimbangan, baik di dalam tubuh si anak maupun di sekelilingnya. Bahkan di beberapa desa, daun ini sering digunakan sebagai bagian dari ritual tolak bala. Misalnya, daun Sangketan diletakkan di depan pintu rumah atau diikatkan pada pergelangan tangan sebagai perlindungan dari gangguan yang tak kasat mata.

Cerita itu membangkitkan ingatan saya pada pengalaman sendiri ketika anak saya demam, dan ibu mertua menyarankan memakai daun Sangketan, seperti yang dia pelajari dari ibunya dan neneknya. Daun ini dipercaya sebagai penurun panas sekaligus pelindung bagi anak-anak yang sakit, diyakini mampu mengusir “angin buruk” dalam kepercayaan tradisional. Daun Sangketan memang sederhana, tetapi keberadaannya penuh makna—bukan hanya karena khasiatnya, tetapi juga karena rasa aman yang lahir dari keyakinan bahwa alam selalu hadir untuk melindungi. Pengalaman ini menghubungkan saya dengan ibu mertua, neneknya, dan semua perempuan yang mewariskan pengetahuan ini dari generasi ke generasi. Pengalaman dengan daun ini membuat saya merenung. Betapa banyak pengetahuan sederhana yang telah diwariskan kepada kita, tapi sering kali luput dari perhatian. Pengetahuan itu lahir dari pengamatan yang panjang terhadap alam, dari rasa hormat pada apa yang diberikan oleh tanah, dan dari keyakinan bahwa kita adalah bagian dari sebuah siklus kehidupan yang saling bergantung.

Daun Sangketan, bagi saya, adalah penjaga yang tak banyak bicara, namun selalu ada. Kehadirannya mengajarkan bahwa alam menyediakan apa yang kita butuhkan, selama kita mau mendengar, belajar, dan menghormatinya. Lebih dari itu, ia juga mengingatkan kita bahwa setiap langkah kita di masa kini adalah bagian dari perjalanan panjang para leluhur yang telah lebih dulu memahami kehidupan ini. Apa yang dilakukan Gunarti, apa yang diajarkan ibu mertua saya, dan apa yang saya praktikkan hari itu bukan hanya tentang menyembuhkan demam. Ini adalah tentang menjaga agar tradisi, cerita, dan hubungan manusia dengan alam tetap hidup. Sangketan adalah pelajaran kecil dari alam yang mengajarkan hal besar—bahwa kehidupan kita adalah jalinan erat antara warisan masa lalu dan keberlanjutan masa depan.

Scroll to Top