Bulak panggilannya, perempuan, baru kelas 6 Sekolah Dasar di desa Fatukoto, Mollo Utara. Ia baru belajar menenun ikat pinggang. Bulak murid yang paling muda di Sekolah Tenun Nausus.
Siang itu, 21 September 2024, Bulak mengikuti kelas pertama Sekolah Tenun yang diselenggarakan di kawasan batu Nausus. Ia mengenakan kaos abu-abu dengan tulisan “somebody to love” dan sarung tenun yang indah. Itu motif tenun bunak, yang membutuhkan keahlian khusus karena tingkat kesulitannya. Bunak tak hanya menenun benang, tapi sekaligus memadukan warna dan menggambar motif diatas benang. Itu sarung pemberian ibunya.
Bulak belum mampu menenun motif bunak. Ia baru bisa menenun ikat pinggang, polos, warna kuning. Teman-temanya di Sekolah tenun itu memiliki keterampilan yang beragam. Mulai dari yang sama sekali tak bisa menenun, baru bisa menenun lotis, bahkan ada yang bisa menenun bunak, meskipun belum terlalu rapi. Kini banyak anak-anak perempuan Mollo yang sama sekali tidak bisa menenun.

Dulunya, menenun adalah penanda kedewasaan perempuan: dia bisa membuat pakaian untuk dirinya dan keluarganya. Itu adalah penanda kedewasaan, bisa melawati kesabaran menghitung berapa benang yang harus dipasang di alat tenun, memadukan warna benang, mampu mengatur waktu sehingga bisa menyelesaikan sehelai kain tenun. Menenun adalah sebuah capaian.Tak hanya capaian perempuan muda, tetapi juga capaian para mama yang berhasil menurunkan kecakapan pada anak perempuannya, dan perannya dalam menjaga identitas. Sebab tenun adalah penanda identitas adat.
Generasi para penjaga adat ini makin sedikit jumlahnya. Ada yang tak punya kesempatan belajar karena harus sekolah, sehingga tak punya waktu belajar menenun. Ada juga anak-anak perempuan yang harus sekolah atau bekerja di kota sehingga jauh dari sang ibu atau tante yang menjadi sumber pengetahuan menenun. Ada juga alasan yang menyebutkan menenun tidak penting karena sudah ada pakaian modern, bisa dibeli di toko. Lantas bagaimana identitas adat bisa dijaga ke depan kalau tak ada lagi regenerasi penenun.
Menghidupkan Tenun, Merawat “the Common”
Organisasi Ataimamus (OAT) yang selama ini merawat wilayah Nausus menyadari pentingnya regenerasi perempuan penenun, yang tak hanya menjaga identitas, tetapi juga menjadi ruang mendidik kepemimpinan perempuan. Inilah yang melatari diadakannya Sekolah Tenun Nausus, untuk menghidupkan kembali tradisi dan pengetahuan leluhur. Generasi muda Mollo didorong untuk menjadikan warisan budaya sebagai kekuatan yang menginspirasi langkah mereka. Mereka tidak hanya belajar membuat kain, tetapi juga merajut masa depan yang berakar pada nilai-nilai leluhur dan keberanian untuk bertahan pada arus perubahan. Dengan semangat ini, mereka siap menghadapi tantangan dan mempertahankan identitas.
Di Sekolah Tenun NAUSUS, generasi muda Mollo, mulai dari usia 12 hingga 27 tahun, belajar menenun sebagai keterampilan praktis sekaligus memahami filosofi di baliknya. Proses belajar di sini merupakan program lintas generasi dimana para penenun muda belajar dari penenun senior, memastikan bahwa keterampilan dan nilai budaya tidak hilang. Mengingatkan kita bahwa tenun juga bagian dari “the common”—ruang yang dimiliki dan dirawat bersama. Konsep “the common” merujuk pada sumber daya atau ruang yang dikelola secara kolektif oleh komunitas, memungkinkan semua anggotanya untuk berkontribusi dan mendapat manfaat. Menurut Ostrom (1990), “the common” merupakan sumber daya yang dapat diakses dan dikelola bersama tanpa harus dikendalikan oleh individu atau entitas tertentu. Pada setiap benang yang dirajut, mereka tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga membangun masa depan yang lebih kuat dan berdaya, menjadikan tenun sebagai simbol kebersamaan dan ketahanan komunitas.
Di masa lalu, tenun menjadi ruang pertemuan antar perempuan beda generasi, antara ibu dan anak perempuan, dengan tante-tante dan tetangga mereka. Sambil memintal benang kapas di malam hari, atau sambil menenun, terjadilah percakapan diantara mereka tentang kehidupan, tentang silsilah keluarga, tentang hubungan dengan alam, tentang batu nama, air nama, dan pohon nama, juga tentang tubuh perempuan. Percakapan-percakapan yang mengantarkan dan membekali anak-anak muda dalam perjalanan kehidupan mereka ke depan, termasuk sebagai penjaga identitas. Ruang-ruang percakapan ini menyusut bersama dengan model dan sistem pendidikan modern, tuntutan ekonomi dan belakangan teknologi dawai.
Mengajarkan Kepemimpinan Perempuan
Selain paling muda, Bulak juga murid yang sangat pemalu. Semula, dia tidak berani memandang para pengajar yang datang dari MAF dan Bife yang menjadi penilik di sekolah tenun ini. Tiap bicara dia selalu menunduk, bahkan menutup mukanya jika salah bicara. Sebagian besar siswa ternyata tak jauh beda dengan Bulak. Pada pertemuan pertama, beberapa diantara mereka bahkan tak berani bicara. Rasa malu dan rendah diri menghalangi mereka untuk menyampaikan apa yang ada di dalam hati dan pikiran mereka. Selain keterampilan menenun, membuat para perempuan muda ini percaya diri adalah misi penting lainnya sekolah tenun ini.
Salah satu yang efektif mengurangi rasa malu adalah mengubah laku badan. Bulak dan kawan-kawannya diminta meletakkan tangan mereka di belakang tubuh saat bicara untuk mencegah mereka sering menutup mukanya jika berbicara. Cara ini rupanya cukup efektif. Rasa malu yang berkurang membuat mereka tidak lagi bersembunyi atau menghindari percakapan, dan lebih fokus untuk mendengarkan.

Tahapan selanjutnya dari sekolah ini adalah mengintegrasikan pengetahuan tentang pangan dan lingkungan dalam kurikulumnya melalui pengenalan literasi. Para guru mengajak para peserta untuk menanam dan memasak bersama. Aktivitas ini tidak hanya mengenalkan keterampilan hidup, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga alam sebagai sumber kehidupan dan memperkuat kedaulatan pangan. Dengan pendekatan holistik ini, sekolah ini juga memiliki misi mempersiapkan generasi muda Mollo untuk menjadi pemimpin yang mampu mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak komunitas.
Para peserta juga dilatih untuk menulis jurnal harian yang memuat refleksi, pengalaman pribadi, dan cerita tentang tanah air mereka. Kegiatan literasi ini bertujuan agar perempuan Mollo dapat mendokumentasikan dan menyuarakan kisah perjuangan serta nilai-nilai lokal yang seringkali terpinggirkan. Dengan cara ini, mereka tidak hanya melestarikan sejarah budaya, tetapi juga membangun kepemimpinan melalui aktivitas sehari-hari seperti menenun, berkebun, dan memasak.
Dalam pembukaan, kepala Sekolah tenun yang juga pendiri OAT dan MAF, Ibu Aleta Baun mengatakan,”Anak-anak murid di sini adalah perempuan-perempuan muda yang tersisa yang tinggal di kampung untuk sungguh-sungguh belajar menenun, karena yang lain banyak yang pergi ke kota. Sekolah ini tak hanya ingin membuat kalian jago menenun, tapi bersama mama mama guru juga ingin mempersiapkan anak-anak muda yang berani dan setia menjaga batu nama, air nama dan pohon nama”.