web analytics
Home » Blog » SEMUA KITA ADALAH KARTINI. Surat Terbuka dari Gunarti untuk Indonesia yang sedang Merayakan Hari Kartini

SEMUA KITA ADALAH KARTINI. Surat Terbuka dari Gunarti untuk Indonesia yang sedang Merayakan Hari Kartini

Halo, dulur-dulur semua. Sehat-sehat selalu ya.

Hari ini tanggal 21 April 2025. Surat dari saya, Gunarti, untuk perempuan di manapun berada. Aku tuangkan isi hati sebagian lewat tembang macapat, ada tujuh pupuh atau tujuh tembang. Yang artinya, angka tujuh adalah tujuan dan harapan untuk kita semua agar ingat dan sinau mencari tahu bahwa sebenarnya orang hidup itu harus punya tujuan. Tujuan hidup itu apa, dari mana, dan mau ke mana. Untuk apa dan untuk siapa?

Dalam bahasa Jawa, tujuh itu pitu, yang artinya pitutur, pituduh, atau petunjuk. Seperti jam dinding saja punya jarum penunjuk waktu, bagaimana dengan kita sebagai manusia?

Isi hati ini tak akan cukup buku untuk memuatnya, tak cukup tinta untuk menuliskannya, karena begitu banyaknya. Tapi tak apa-apa, karena kalau mau lebih banyak mengetahui haruslah banyak waktu untuk ketemu dan srawung, supaya bisa melihat sendiri, mendengar langsung, dan merasakan sendiri.

Saya selalu menyelipkan doa untuk kalian semua di tengah-tengah doa untuk tubuh saya sendiri, untuk keluargaku, untuk lingkunganku, dan Ibu Bumi seisinya. Semoga dulur-dulur selalu sehat, cukup sandang pangan papan atau tempat tinggal. Kita sama-sama dititipi hidup dari Sang Pencipta yang harus kita jaga, kita rawat, kita gunakan sebaik mungkin, dan kita perjuangkan di tengah situasi yang sangat sulit, walau hanya sekedar untuk bisa bertahan hidup yang selaras dengan Alam.

Terselip di dalam hati pertanyaan: Apakah kita bukan orang pribumi? Apakah kita bukan warga negara ini? Hingga diperlakukan seperti ini? Kita tak pernah merepotkan pemerintah dan siapapun dan dimanapun.

Kenapa harus ada cerita ayam mati di lumbung padi, warga Nusantara miskin di negeri agraris? Apakah kami kaum perempuan salah jika mempertahankan ruang hidup kami dengan cara kami, tak pernah usil, merepotkan, meminta kepada yang namanya Negara atau pemerintah? 

Di benak saya bertanya: yang mana namanya Negara? Adanya Negara itu untuk apa dan untuk siapa? Namanya pemimpin itu tugasnya apa dan untuk siapa?

Saya bukan marah, lho. Wong saya senyum kok. Saya juga tidak mengkritik, lhoWong saya hanya bertanya kok.

Saya mungkin hanya perempuan kampung, hanya petani dan wong gendeng, tapi saya diajari, dididik orang tua saya, hidup berguna, hidup sederhana dan tidak boleh menyakiti siapapun, apapun, di manapun, walau dengan kata-kata. Tapi harus sayang dengan sesama hidup, dan tak boleh makan dari hasil menipu, merampas, menindas, atau menyengsarakan orang lain.

Saya harus cukup sandang pangan atau ekonomi dari bertani, beternak, dan yang ada hubungannya dengan Ibu Bumi, atau tanah dan air. Walau saya orang gendeng atau bodoh, artinya gendeng adalah tegen lan ndenger — endi sing elek lan sing apik. Saya tahu mana yang jelek, mana yang baik.

Sejak kecil saya sudah sering ditanya orang tua: elek karo apik, kowe milih endi? Jelek dan baik, kamu pilih yang mana? Dengan cekatan, tentu saja saya pilih yang baik. Dan tentunya kita semua, bahkan anak kecil saja, jika disuruh milih, pasti milih yang baik. Dari mulai baju, apapun yang dia pakai, pasti milih yang baik. Tetapi kita jangan sampai milih yang baik tapi dengan cara yang tidak baik.

Di bulan April ini, ada satu perempuan, wong wedok atau ibu yang tanggal lahirnya sama dengan hari lahir saya. Dialah RA Kartini. Dan menurut saya, di manapun juga perempuan-perempuan bertempat tinggal, dia juga bagian dari Kartini. Perempuan pejuang dengan caranya masing-masing untuk memperjuangkan dirinya agar dihargai sebagai manusia yang setara degan laki-laki, yang memperjuangkan hak ruang hidupnya, keluarganya, dan Ibu Buminya yang telah berkorban untuk kita semua.

Perempuanlah yang melahirkan mereka yang saat ini menjadi pemimpin, pejabat, tentara, dan apapun nama jabatannya. 

Apa sih permintaan perempuan? Apakah sang ibu minta dikasih uang segudang? Tentu saja tidak.

Coba renungkan dan cari jawabannya. Tidak muluk-muluk. Kalau mereka menganggap perempuan sosok tak berdaya, tak berguna, hingga harus diperdaya, harus dipergunakan atau diperbudak — itu salah besar.

Jika satu kata terucap dari mulut sang ibu yang tersakiti: “Hai anak-anakku semua, aku tidak minta apa-apa setelah kamu menyakiti aku, sesamamu. Aku tidak minta apa-apa, aku hanya minta satu hal: kembalikan air susu dari puting ibumu yang telah melahirkanmu dan mengalir di jiwa ragamu.”

“Coba bayangkan, apa kira-kira jawaban dari mereka-mereka?”

Kenapa mereka, pemimpin, pejabat, tega pada kaum perempuan yang hanya ingin supaya hidup ini terus berkelanjutan? Kenapa tidak memikirkan perasaan dan keinginan perempuan? Mereka sudah tidak memikirkan hidup yang keberlanjutan. Yang butuh keberlanjutan bukan hanya manusia saja, lho, bahkan hewan, tumbuhan, ngunung, laut, batu, air, angin dan semuanya juga butuh keberlanjutan.

Hidup ini ada dua kebutuhan yang harus dipenuhi: butuh jangka pendek dan jangka panjang. Untuk kita kaum perempuan, tetaplah sehat dan semangat di tempatmu masing-masing untuk selalu hidup harmonis dengan Alam seisinya. Jangan mengandalkan bantuan, menggantungkan harapan ke orang lain yang ingin membantu. Sebanyak apapun orang yang membantu, kalau kita sendiri lemah, itu tidak akan berhasil dalam satu perjuangan.

Jangan senang dibantu secara ekonomi yang terus dikucurkan. Itu tidak akan umur panjang. Jika jangka pendek kita dibantu tetapi jangka panjang kita diancam, sama saja bohong. Di depan manis, di belakang menikam. Waspadalah dengan yang namanya bantuan. Tidak usah takut pada siapapun dan apapun jika kita benar.

Ingat, kesejahteraan itu bukan di tatanan ekonomi saja, tapi kesejahteraan itu terletak di penerimaan roso. Sejahtera itu ketika kita punya rasa bersyukur dan merasa cukup. Saya menggantungkan hidup pada Ibu Bumi. Saya berharap pada tubuh ini supaya selalu sehat, jiwa raga, lahir batin, supaya kita bisa berpikir jernih, bergerak dan berjuang. Begitupun harapan saya untuk semua dulur-dulur saya.

Saya tidak merasa berani pada siapapun, tapi saya juga tidak pernah merasa takut pada siapapun, selagi saya tidak bersalah. Saya hanya takut jika bersalah, dan takut pada Ibu Bumi jika tidak memberi hidup lagi. Kita tidak bisa hidup tanpa Ibu Bumi. Kita bukan tipe orang yang setia pada Ibu Bumi, karena sewaktu-waktu kita dapat meninggalkannya. Dan kita ketakutan jika kita ditinggal Ibu Bumi.

Selama kita masih hidup, kita butuh alam. Maka kita harus merawat alam. Mungkin alam tidak sebegitu butuh manusia jika hanya untuk merusak. Tapi ada satu cara supaya kita tidak meninggalkan Ibu Bumi atau alam lingkungan kita. Apakah itu mungkin? Mungkin saja. Apakah itu bisa? Pasti bisa kalau kita mau berusaha.

Dengan apa caranya? Dengan terus merawat, mendidik, mengisi, berbagi pada generasi penerus — entah keturunan kita sendiri ataupun yang lain. Kita harus memilih menyimpan benih-benih dan merawatnya. Yang harus ditanam supaya tumbuh kokoh akarnya, kuat batangnya, rimbun dahan, ranting, dan juga daunnya. Sehingga suatu saat dapat berguna memberi kontribusi kehidupan kepada sesama hidup yang di bawahnya dan sekitarnya.

Yuk, kaum perempuan, laksanakan tugas kita. Jangan jenuh. Jangan mengeluh. 

Teruslah tebarkan virus-virus kebaikan, bakteri baik kepada siapapun, dimanapun, dengan cara apapun, dengan cara yang baik tentunya. Dari leluhur untuk kita, demi generasi mendatang. Kita semua sedulur, satu itu Bumi, satu Bapak Angkasa.

Mari kita didik anak-anak kita, karena guru sejati dari anak-anak adalah orang tuanya. Sekolah formal itu penting, tapi tidak kalah penting adalah sekolah atau belajar dengan orang tua tentang menjaga alam, menggunakan secukupnya, menjaga lingkungan, tentang sosial, tentang cara berbakti, bersyukur. 

Kita bisa mendidik, ambil waktu sela-sela mereka libur sekolah formal supaya seimbang pengetahuan anak-anak generasi mendatang, seperti kaki ini melangkah dengan seimbang.

Ayo kita isi anak-anak dengan yang dibutuhkan anak-anak. Bukan hanya uang. Bekali mereka bukan hanya tatanan ekonomi, bukan hanya untuk menguatkan raga, tetapi kita wajib mengisi jiwanya, memperkokoh pondasinya supaya kelak mereka jadi penjaga-penjaga Ibu Bumi di wilayahnya masing-masing.

Demikian surat dari saya, sedikit berbagi dan bercerita. Muga-muga selalu diberikan kesehatan, dikabulkan setiap doa baik kita. Satukan hati, satukan tekad untuk kehidupan kemarin, sekarang dan yang akan datang. Kita pasti akan berhasil.

Janganlah mengeluh. Teruslah ikhlas dan tulus seperti Ibu Bumi. Teruslah semangat, sesemangat matahari yang terus memberi sinarnya. 

Sebab, semua kita bisa menjadi Kartini, yang berjuang dengan caranya masing-masing memperjuangkan dirinya agar dihargai sebagai manusia yang setara dengan laki-laki, yang memperjuangkan hak ruang hidupnya, keluarganya, dan Ibu Buminya yang telah berkorban untuk kita semua.

Selamat merayakan hari Kartini, dan menyelamatkan Ibu Bumi. 

Berikut penjelasan beberapa istilah berbahasa Jawa dalam surat ini untuk membantu pembaca memahami maknanya.

Glosarium Bahasa Jawa – Indonesia

  • Apik: Baik
  • Dulur-dulur: Saudara-saudara
  • Elek: Jelek
  • Endi: Mana
  • Gendeng: Gila (dalam konteks ini bisa juga berarti “berani berbeda”)
  • Kowe: Kamu
  • Loro roso: Perasaan sakit / rasa sedih
  • Ndenger: Mendengar
  • Ngunung: Pegunungan
  • Pitutur: Nasihat
  • Pituduh: Petunjuk
  • Pitu: Tujuh
  • Roso: Rasa / perasaan
  • Sandang pangan papan: Kebutuhan dasar hidup: pakaian, makanan, dan tempat tinggal
  • Srawung: Bergaul / bersosialisasi
  • Tegen: Mengerti
  • Wedok: Perempuan
  • Wong: Orang
  • Wong gendeng: Orang “gila” (konotasi di sini bisa berarti orang yang dianggap aneh atau berani melawan arus)

 

 

Scroll to Top