web analytics
Home » Blog » Surat Nausus: Hari Anak dan Pemaknaan Baru Pelabelan Perempuan Sumur, Dapur, Kasur
Surat Nausus: Hari Anak dan Pemaknaan Baru Pelabelan Perempuan Sumur, Dapur, Kasur.

Surat Nausus: Hari Anak dan Pemaknaan Baru Pelabelan Perempuan Sumur, Dapur, Kasur

Nissa Wargadipura – UN FAO Global Hero / Pemimpin Pesantren Ekologi Ath Thaariq

Bersahabat, belajar, bergembira, dan berkarya, seharusnya menjadi capaian kesejahteraan dalam kehidupan keseharian anak-anak Indonesia. Sayangnya, ini tidak terjadi dengan baik. Selamat Hari Anak Nasional!

Pada hari nasional yang penting ini, saya ingin mengajak kita melakukan sebuah refleksi. Pada masa lampau, secara turun-temurun, kita sebagai orang dewasa, secara sadar atau tidak adalah korban dari dampak tidak adanya pendidikan pranikah. Akibat ketidaksiapan orang tua dalam mengasuh seorang anak menimbulkan pengabaian terhadap hak-hak anak. Sehingga pelajaran penting mengenai hak anak seringkali terlewati.

Ketidakberdayaan anak-anak bahkan menjadi tempat pelampiasan kemarahan dan kekecewaan orang tua akibat tekanan ekonomi, stres, hingga depresi. Tamparan, cubitan, injakan, pukulan, kurungan, tendangan, tarikan, jambakan, jeweran—semua itu kerap menjadi “pengasuhan” yang harus diterima anak-anak kita. Kalimat-kalimat verbal berupa ejekan, perbandingan, penghinaan, juga menjadi bagian luka mereka, padahal setiap anak terlahir dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mengerikan, bahwa yang melakukan kekerasan ini justru adalah orang-orang terdekat mereka.

Padahal, sudah ada peraturan yang memberikan perlindungan kepada anak-anak. Pasal 28B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945 secara jelas menjamin hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal ini diperkuat oleh UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang menyatakan bahwa pemeliharaan kesejahteraan anak belum dapat dilaksanakan oleh anak sendiri. Kesempatan dan upaya untuk menghilangkan hambatan tersebut hanya dapat terwujud bila usaha kesejahteraan anak dijamin.

Begitu juga dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), ditegaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Hak anak adalah hak asasi manusia yang diakui dan dilindungi oleh hukum.

Saya ingin membagi pengalaman organisasi saya, Pesantren Ekologi Ath Thaariq yang mengakui pentingnya turut aktif mengambil peran dalam upaya pemenuhan hak anak: termasuk pengasuhan, nutrisi, perlindungan, dan pendidikan yang memadai. Sebab, kita harus mendukung anak-anak tumbuh menjadi pribadi muda, kuat, dan merdeka. 

Kita penting menghidupkan Undang-Undang tentang Pesantren, yang mengatur fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat untuk memajukan hak anak, seperti yang dilakukan Pesantren Ekologi Ath Thaariq untuk menghadirkan ruang belajar kehidupan.

Tahun 2025 ini menandai 17 tahun perjalanan kami sejak 2008. Hidup bersama anak-anak, remaja, dan mahasiswa—yang kami sebut sebagai santri (usia 7–18 tahun, serta mahasiswa)—kami menjalani proses pembelajaran dalam satu kehidupan rumah tangga yang mandiri dengan keterbatasan lahan pesantren.

Selama itu pula, kami bermeditasi atau melakukan refleksi terus menerus bersama ekosistem Ath Thaariq. Ekosistem ini telah berkembang menjadi Food Forest. Berawal dari pendidikan pengasuhan santri yang memperkenalkan landasan dasar pendidikan berbasis Green Islam, implementasinya dijalankan melalui pendekatan agroekologi berbasis kearifan lokal Sunda: “buruan bumi” dan “kebon/leuweung talun”. Buruan bumi adalah kebun pekarangan tempat kita memburu pangan saat pulang dari luar rumah—jambu, tebu, mangga, degan. Sementara kebon-leuweung talun adalah lanskap yang menyatukan kebun, hutan, dan alam.

Pendidikan ekosistem ini melahirkan kemandirian, kegembiraan, keamanan, ketenangan, dan kerinduan pada rumah yang nyaman dan asri. Segala sesuatu terpenuhi dengan baik, terutama air dan makanan alami yang dihasilkan dan diolah bersama keluarga dari benih, penanaman, perawatan, hingga tersaji di meja makan. Inilah jalan menuju kesejahteraan sejati: berkarya, belajar, bersahabat, dan bergembira.

Selama 17 tahun, dari benih hingga Food Forest, Ath Thaariq telah membangun ekosistem timbal balik yang saling menguntungkan. Di atas lahan 10.000 m², tumbuh keanekaragaman hayati dan fauna, sebuah rumah bersama yang setara bagi manusia dan makhluk lainnya.

Dari proses di atas, kami melahirkan pemaknaan baru tentang 3R  atau Sumu(r), Dapu(r), Kasu(r) yang selama ini menjadi pelabelan bagi para perempuan untuk menanggung beban kerja domestik. Ini menjadi dasar penting untuk membangun keluarga dengan pendidikan yang melindungi dan mensejahterakan anak, sekaligus adil terhadap perempuan. Ini adalah panggilan penting bagi gerakan perlindungan anak dan perempuan pembela HAM dan lingkungan, terutama pada saat ini dimana pada masa tanggap perubahan iklim yang semakin mendesak.

Dalam pemaknaan baru ini, kita memaknai salah satu peran perempuan sebagai Indung (ibu, dalam Bahasa Sunda). Peran-peran Indung secara tradisional dilekatkan dengan ruang-ruang domestik yang diidentikkan dengan sumur, dapur, dan kasur. Inilah kritik mendasar gerakan ekofeminisme terhadap individu, masyarakat dan negara yang berkarakter patriarki. Peran-peran ini perlu kita maknai ulang. 

Pertama, Sumur Indung melambangkan air. Ekosistem terdekat dengan tubuh perempuan yang kompleks. Air menjadi kebutuhan utama bagi tubuh dan reproduksi perempuan serta anak-anaknya. Air tersedia selama kita merawat hutan dan terus menanam. Maka, gerakan menanam harus menjadi tanggung jawab bersama baik perempuan dan laki-laki agar pohon-pohon dan sungai-sungai kembali hidup dan menghadirkan taman surgawi yang lestari. Jannah bagi mereka yang sakinah.

Kedua, Dapur Indung adalah ekosistem pangan yang kaya. Dari tanah yang subur tumbuh aneka tanaman halalan thayyiban, primer hingga tersier, menghasilkan makanan bergizi tinggi. Inilah yang menciptakan sperma berkualitas tinggi dan rahim sehat, tempat anak-anak dilahirkan dan dirawat.

Ketiga. Kasur Indung harus dimaknai sebagai kebutuhan untuk tubuh memiliki istirahat yang cukup dan berkualitas. Tidur adalah kebutuhan dasar manusia. Dengan waktu tidur sebanyak 7–8 jam dan asupan gizi yang baik, maka kita bisa menumbuhkan regenerasi sehat, kuat, dan cerdas. Dalam asuhan kasih sayang Indung, anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), pinter (pandai)

Dalam perayaan Hari anak ini, saya mengajak kita melakukan dan menerapkan pemaknaan baru 3R tentang Sumur, Dapur, Kasur  di atas menjadi pandangan penting bagi pendidikan anak-anak hari ini. Sebab, sekolah saja tidak cukup. Anak-anak butuh keterampilan yang diasah melalui sekolah-sekolah kehidupan, seperti yang dilakukan di Pesantren Ekologi Ath Thaariq, agar terbentuk generasi yang muda, kuat, dan merdeka.

Garut, 05 Juli 2025
Semoga bermanfaat.

Scroll to Top