web analytics
Home » Blog » Surat Terbuka untuk Nausus, Para Perempuan Pembela HAM Lingkungan
Surat-Terbuka-untuk-Nausus

Surat Terbuka untuk Nausus, Para Perempuan Pembela HAM Lingkungan

Sangihe, Sulawesi Utara , 8 Maret 2024.

Kepada Para Nausus di manapun.
Memperingati Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2025, awalnya saya berniat menulis surat kepada Pengurus Negara. Tetiba saya galau, apakah masih penting menyurati mereka? Karena mereka tak pernah memasang telinga, mata, apalagi hati dan pikiran untuk rakyatnya. Padahal kita hanya meminta mereka untuk sekedar membiarkan kita mengurus sendiri ruang hidup kita. Tapi pongah mereka, terus merangsek masuk menjungkirbalikan wilayah-wilayah adat, keramat, dan bersejarah, tumpuan masa depan kita dan anak cucu.

Mereka berkuasa mencipta regulasi agar bisa merampok. Lalu menggelontorkan ribuan ijin membuka hutan, kebun sawit, tambang, real estate, reklamasi pantai, merubah status hutan adat menjadi hutan negara atau hutan lindung, atau apa pun yang mereka inginkan mengatasnamakan rakyat.

Mereka berhasil membongkar tembok kokoh lembaga agama yang agung. Meretas iman organisasi terhormat itu agar ikut berkubang kotoran pertambangan. Dengan iming-iming kaya, mereka mulai menggoda lembaga Pendidikan Tinggi dengan penuh birahi.
Pengurus negara yang sangat memalukan dan memilukan.

Kini, Pengurus Negara yang baru, montok, penuh sensasi. Dikepalai mantan Komandan militer yang menggunakan segala cara untuk menang. Termasuk berjalan cepat-cepat lalu menari-menari sebentar, kemudian berpidato berapi-api di podium bicara efisiensi anggaran negara, makan gratis anak-anak sekolah yang dianggapnya fakir miskin, menghukum koruptor, sesumbar mengangkat ekonomi negara, tapi masih menggunakan sistem VOC yang diganti nama Danantara. Jelas terbaca keserakahan tanpa batas itu.
Untuk apa menyurati mereka?

Di peringatan Hari Perempuan Internasional ini, saya merasa bahagia dan bersemangat menulis surat kepada para Nausus. Siapa Nausus? Mereka adalah perempuan-perempuan tangguh perkasa di manapun yang sedang menjaga dan menyelamatkan kehidupan. Mereka merawat Ibu bumi dengan telaten dan sabar. Sesungguhnya merekalah pahlawan kehidupan. Mereka adalah sahabat, dan panutan. Saya ingin menyapa beberapa diantara mereka yang dalam lima bulan terakhir saya merasa makin dekat.

Yang pertama, saya ingin menyapa Mama Mardiana di Kalteng. Apakabar Mama?

Saya menyaksikan, pada hutan belantara Kalimantan jiwa ragamu diabdikan. Masuk keluar hutan siang dan malam di tengah cuaca ekstrim dengan berjalan kaki, tanpa berhitung resiko menghadang. Di usia yang tak lagi muda, Mama terus berikhtiar menghalau perusak bumi yang ingin menancapkan sawit dan mengobrak-abrik tanah adat demi batubara. Mendampingi komunitas adat yang membutuhkan pemimpin. Tak hanya di hutan, tapi juga di sidang pengadilan kriminalisasi kawan-kawan seperjuangan.

Mama Mardiana mengajarkan budaya leluhur dan ketrampilan-ketrampilan indah kepada Perempuan muda membuat anyaman. Agar adat-istiadat leluhur utuh mewarnai kehidupan

Mama Mardiana bersama komunitasnya berhadapan dengan Perusahaan yang bergandengan tangan dengan Negara dan aparatnya mencaplok ruang hidup perempuan dan keluarganya. Ketika sakit dan obat-obatan tak bisa dapat karena jauh dan mahal. mama Mardiana akan mengambil dedaunan pepohonan hutan diramu menjadi obat yang menyembuhkan.

Berikutnya, saya ingin mengingat sosok Mama Aleta Baun, perempuan Mollo NTT.

Bersama Mama Aleta, saya ibarat sedang berlatih menyelam gaya bebas. Mulai melatih menahan napas dari menit ke menit di dalam air dengan berbagai variasi kedalaman laut. Mulai dari permukaan sampai ke tingkat kedalaman tertentu. Berusaha mahir menyelam gaya bebas. Begitulah saya mengibaratkan belajar darinya. Cerita heroik Mama Aleta memperjuangkan batu, tanah dan hutan sumber hidup di Mollo telah menjadi legenda tak hanya di lokal tapi juga nasional dan internasional. Cerita-cerita ‘kenakalannya’ sewaktu masih anak-anak bahkan sampai remaja terdengar lucu, menggambarkan sikap keras kepala dan ketegaran seorang Perempuan Timor. Mama Aleta adalah symbol perlawanan adat terhadap pencaplokan wilayah keramat yang dijaga rakyat. Saya tak perlu menuliskan detail perlawanannya, saya yakin banyak yang sudah tahu kisah perempuan adat perkasa ini.

Pada pertemuan terakhir kami tengah akhir tahun lalu di Bali, saat saling bercerita dan berrefleksi tentang perjuangan dan rencana ke depan Save Sangihe Island (SSI), jujur saya merasa lelah dan ingin berbelok pada kesibukan lain saja. Tak mampu lagi melawan kuasa Negara yang bengis dan tak menghormati rakyatnya. Saat itulah Mama Aleta menatap saya dengan garang. Saya tak paham kenapa. Ia hanya bergumam “Jull, sebentar kita bicara!”, tapi itu seperti sebuah perintah tegas. Saya mengiyakan. Kami berdua mencari tempat. Ia menatap saya, tatapan sudah melembut.

“ Jull, kenapa kamu melawan panggilan hidupmu?, kamu tidak bisa berhenti atau pun berbelok. Kamu harus legowo mengalir dalam panggilan ini. Semesta telah memilihmu. Kau tak punya kuasa menolaknya. Takdirmu adalah terus mengalir dalam panggilan ini, melanjutkan perjuangan ini sampai pada akhirnya. Entah kapan itu akan berakhir. Pilihan terbaikmu hari ini adalah berjuang secara adat. Abaikan hingar dan hiruk pikuk pengurus Negara yang memang kemaruk. Leluhur dan semesta pasti merespon dengan caranya dan membuatmu merasa tenteram”, ujarnya.
Saya tertegun, mengangguk lalu memeluknya.. Ahh.. Mama Aleta. Perempuan Adat Mollo perkasa yang bijak dan menginspirasi. Terima kasih telah menyadarkanku dari kegalauan.

Yang ketiga, saya juga ingin menyapa mbak Gunarti di Kendeng. Sugeng sehat Mbak Gun.

Saya mengenal dekat Mbak Gunarti saat di Garut, Oktober tahun lalu, saat bertemu dengan Mama Aleta, Mama Loreta dan Mbak Gunarti. Saya masih mengingat kisah heroik perempuan-perempuan Kendeng yang bertaruh nyawa menyelamatkan Kendeng dengan berbagai cara, menyemen kaki di depan istana hingga membawa ke jalur hukum, dan mereka menang! Tetapi negara tak menegakkan hukum. Bukti tak ada jaminan keadilan bagi rakyat. Tapi perjuangan harus berlanjut. Mbak Gunarti salah satu Perempuan Kendeng yang Tangguh dan memilih terus menjaga alam demi keselamatan keluarga dan seluruh warga Kendeng.

Berhadapan dengan Mbak Gunarti, mendengar ceritanya, melihat dia tersenyum, saya seperti berada di sebuah air terjun yang indah, yang airnya jatuh membentuk kolam dimana orang bisa berenang, gemerisiknya menenangkan jiwa dan menyejukan. Pun ketika airnya menimpa tubuh kita, rasa dingin dan segar akan terasa. Sementara di balik air terjun itu, ada dinding batu yang kokoh tak tergoyahkan. Pada saat tertentu saya merasa diayun-ayun dalam aliran air jernih tembang-tembangnya yang indah dan merdu. Mengisi kekosongan jiwa dan memulihkan keletihan.

Di kampung halamannya, Mbak Gunarti terus melawan dengan cara elegan. Mengajar baca tulis anak-anak, mengorganisir dan melakukan penguatan pada perempuan-perempuan untuk terus konsisten menjaga alam. Ia menembang untuk mengalirkan nasihat-nasihat penuh makna kehidupan kepada siapapun yang mendengarkannya. Mbak Gunarti juga memiliki ketrampilan memasak makanan tradisional Jawa, dan selalu murah hati membagikannya kepada orang lain. Saya sangat beruntung mengenal Mbak Gunarti sebagai sahabat dekat dalam perjuangan yang sama. Bahkan akan terus merindukannya untuk mendapatkan banyak siraman kesejukan dari setiap senyuman dan kata-kata nasihatnya yang meneduhkan dan mengokohkan.

Berikutnya, saya mau menyapa Mama Loreta di Adonara,

Mama Loreta adalah seorang Perempuan Tangguh dari Flores yang megkaitkan semangat menanam pangan lokal bernama sorgum. Kegigihannya membumikan penanaman Sorgum, dibawanya kemana-mana, hingga dia mendapat panggilan sayang “Mama Sorgum”. Ia memiliki pengalaman dan pengetahuan yang detail tentang tanaman sorgum.

Sorgum adalah pangan alternatif pengganti beras atau tepung terigu, sumber karbohidrat bebas gluten. Ia bisa bertumbuh di daerah tropis dan subtropik karena toleran terhadap kondisi kering dan tanah kurang subur.

Cerita perjuangan membumikan Sorgum Mama Loreta di Flores mulai menyebar ke seantero wilayah NNT, dan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Mama Loreta juga diundang ke mana-mana untuk membagikan pengalamannya. Bukan tanpa halangan dan tantangan, mendorong masyarakat untuk menanam sorgum tidak mudah. Banyak yang apatis karena mereka memilih cara mudah dan sudah terbiasa membeli beras. Tetapi lama kelamaan, paradigma masyarakat mulai berubah meskipun perlahan.

Mama Loreta selalu bersemangat mempengaruhi siapapun yang bertemu dengannya agar menanam sorgum. Saya berhasil dipengaruhi. Saya sangat antusias mencoba menanam benih Sorgum yang dia berikan. Kini sorgum yang saya tanam sudah panen, dan akan dijadikan bibit untuk segera ditanam lebih banyak lagi demi keberlanjutan kehidupan dan pangan sehat. Salut buat semangat Mama Loreta yang menginspirasi banyak Perempuan yang kini Tengah gelisah menghadapi krisis iklim dan pemanasan global.

Merayakan Hari Peringatan Perempuan Internasional, saya ingin mengungkapkan kekaguman pada jiwa dan semangat para Nausus perempuan penjaga bumi tanpa kenal lelah, tak pernah surut Langkah dan berani. Semesta telah menggariskan hidup para Nausus sebagai penjamin keselamatan dan keberlanjutan kehidupan. Perjuangan ini tanpa batas. Tanpa batas ruang dan waktu.

Tentu saja sebagai manusia, para Nausus mengalami pasang surut karena persoalan internal yang rumit, kadang membutuhkan healing, namun sering diabaikan. Akan tetapi panggilan semesta dan leluhur untuk menjaga kehidupan selalu melampau apapun. Tak bisa dihindari, dan akan terus memanggil.

Melalui tulisan ini saya ingin menyapa mereka para Nausus lainnya, di seluruh Indonesia: Selamat merayakan Hari Perempuan Internasional, semoga keterhubungan kita menjadi kekuatan mengokohkan semangat dan komitmen untuk menularkan dan melanggengkan pengalaman kita kepada Nausus muda yang juga telah dipilih semesta. Demi keberlanjutan kehidupan. Kerja Kita tak akan pernah selesai.

Menutup surat ini, saya mengutip ungkapan Richard Bach dalam bukunya berjudul HERO:
“Inilah ujian untuk menemukan apakah misimu di bumi sudah selesai. Jika kau masih hidup, misimu belum selesai”.

Salam Sayang,
Jull Takaliuang

Scroll to Top