Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, maka dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Undang-undang itulah maka UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ini dibentuk.
Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM ini bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan menurut Pasal 7 Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 8 Kejahatan genosida sendiri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Saat ini Kejahatan Lingkungan hidup yang sistematis dan terstruktur seperti ekosida juga ditafsirkan sebagai bagian dari genosida.
Dalam Undang-undang ini Korban maupun Saksi, termasuk didalamnya adalah PPHL, berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun sesuai yang diatur oleh pasal 34 (1) pada Bab V Tentang Perlindungan Korban dan Saksi.
Sitasi : Presiden Rebuplik Indonesia 2000, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dilihat 12 September 2023, https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2000_26.pdf