web analytics
Home » Blog » Negara Masih Menutup Mata terhadap Hak Masyarakat Adat
Negara Masih Menutup Mata terhadap Hak Masyarakat Adat

Negara Masih Menutup Mata terhadap Hak Masyarakat Adat

Kunjungan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni ke Brasil awal November lalu sempat menimbulkan harapan baru. Di hadapan dunia, ia menegaskan komitmen Indonesia terhadap pengakuan hutan adat. Namun bagi masyarakat adat di tanah air, pernyataan itu masih sebatas janji yang menggantung di udara.

Sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, pengakuan yang nyata belum juga terjadi. Dalam satu tahun pemerintahan baru, pengakuan hutan adat hanya bertambah sekitar 70 ribu hektar — angka yang jauh dari harapan, terutama bila dibandingkan dengan luas wilayah adat yang terus tergerus oleh proyek-proyek ekstraktif atas nama pembangunan.

Di Tanah Papua, tanah dan hutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan dan spiritualitas masyarakat adat justru kembali terancam. Negara memaksakan revisi tata ruang, membuka jutaan hektar kawasan budidaya bagi industri perkebunan tebu dan bioetanol, bahkan di wilayah adat suku Yei dan Malind Anim di Merauke. Mereka yang menjaga tanahnya malah dikriminalisasi, sementara korporasi yang menggunduli hutan berjalan bebas.

Paradigma pengelolaan hutan negara masih terjebak dalam logika pasar dan kepentingan modal. Padahal, bagi masyarakat adat, tanah dan hutan adalah subjek kehidupan dan identitas diri, bukan sekadar sumber daya. Alam bukan untuk dieksploitasi, tetapi untuk dirawat agar terus memberi kehidupan bagi generasi berikutnya.

Perempuan adat, yang selama ini menjadi penjaga benih, air, dan hutan, kembali menanggung luka paling dalam. Ketika tanah rusak, sumber pangan pun hilang; ketika hutan ditebang, tempat belajar dan berdoa ikut lenyap.

“Perjuangan saya sudah lewat hukum, saya sudah menang secara hukum. Tapi itu tambang tetap beroperasi, apalagi ada adiknya Prabowo terlibat, dan pemda mau bikin izin baru. Artinya hukum tidak berpihak pada kita. Karena itu kita perlu bersandar pada sesuatu, dan itu bukan hukum. Adat menjadi tempat sandaran saya”–Jull Takaliuang, Nausus dari Sangihe.

Mama Aleta Fund berdiri bersama para Nausus di seluruh Indonesia yang terus berjuang mempertahankan ruang hidupnya. Kami percaya, pembaruan kebijakan tanpa perubahan cara pandang terhadap alam hanya akan melahirkan bentuk baru ketidakadilan.

Daftar Pustaka

  • Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2012). Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI.
  • AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). (2024). Laporan Tahunan: Kondisi Masyarakat Adat di Indonesia. Jakarta: AMAN.
  • WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). (2024). Catatan Akhir Tahun WALHI 2024: Ekspansi Industri Ekstraktif dan Krisis Ruang Hidup. Jakarta: WALHI.

Scroll to Top