web analytics
Home » Blog » Perlindungan Perempuan Pembela HAM Lingkungan: Apakah Permen LHK No. 10 Tahun 2024 Sudah Cukup?

Perlindungan Perempuan Pembela HAM Lingkungan: Apakah Permen LHK No. 10 Tahun 2024 Sudah Cukup?

Di berbagai penjuru negeri, suara-suara perempuan pembela hak asasi manusia (HAM) lingkungan terus menggema. Mereka berdiri di garda terdepan, melawan perusakan alam dan mempertahankan hak hidup komunitas mereka. Namun, di balik perjuangan itu, ancaman terus mengintai. Dari kriminalisasi hingga kekerasan berbasis gender, para perempuan pejuang lingkungan kerap menjadi target utama.

 

Inilah yang menjadi perbincangan utama dalam Menco’an Pedes #2: Diskusi Jum’atan Perempuan Pembela HAM Lingkungan yang diadakan pada 27 September 2024. Dengan tema “Permen LHK No. 10 Tahun 2024: Cukupkah Melindungi Perempuan Pembela HAM Lingkungan?”, diskusi ini mengupas tuntas efektivitas peraturan baru dalam melindungi mereka yang berada di garis depan perjuangan lingkungan.

 

Mengapa Perempuan Pembela HAM Lingkungan Rentan Terancam?

 

Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber ahli: Haris Retno dan Satrio Manggala dari WALHI, serta Theresia Endras dari Komnas Perempuan. Mereka membahas berbagai bentuk ancaman yang dihadapi perempuan pembela HAM lingkungan, mulai dari kriminalisasi hingga SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation)—sebuah strategi hukum untuk membungkam aktivis yang memperjuangkan keadilan lingkungan.

 

Dalam sepuluh tahun terakhir, sebanyak 1.131 orang mengalami kriminalisasi, di mana 34 di antaranya adalah perempuan dan 11 lainnya adalah anak-anak. Salah satu contoh nyata adalah kasus Christina Rumahlatu, seorang perempuan pembela lingkungan dari Maluku yang menghadapi ancaman serius setelah menyoroti dampak eksploitasi tambang nikel PT IWIP yang menyebabkan banjir dan kerusakan lingkungan di Kampung Sagea, Halmahera Utara.

“Sebagai perempuan muda, tentu saya terpukul atas proses kriminalisasi ini. Tapi perjuangan ini kami lakukan demi hak hidup, harkat, dan martabat kami sebagai manusia yang setara, yang ingin hidup berkelanjutan di tanah leluhur kami.” – Christina Rumahlatu

 

Permen LHK No. 10 Tahun 2024: Sebuah Langkah Maju, Tapi Belum Cukup


Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 10 Tahun 2024 hadir sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pembela HAM lingkungan. Namun, apakah regulasi ini benar-benar cukup untuk melindungi mereka?

 

Menurut Theresia Endras, dalam perspektif Komnas Perempuan, ada dua kategori perempuan pembela HAM: mereka yang memperjuangkan hak-hak perempuan, dan mereka yang memperjuangkan HAM secara lebih luas, baik laki-laki maupun perempuan. Sayangnya, Permen LHK ini belum cukup mengakomodasi perlindungan yang spesifik bagi perempuan yang berada di garda terdepan perjuangan lingkungan.

 

Sementara itu, Haris Retno menyoroti bahwa konflik antara masyarakat dengan negara dan pengusaha semakin diperparah oleh dominasi industri ekstraktif. Ia menggarisbawahi bahwa dalam regulasi ini, ancaman terhadap aktivis diklasifikasikan dalam dua kategori: pembalasan dan pelemahan perjuangan. Namun, implementasinya masih jauh dari harapan.
“Perempuan yang memperjuangkan hak lingkungan sering dianggap tidak punya payung hukum yang cukup kuat. Apalagi dalam kasus-kasus kriminalisasi, mereka lebih rentan mengalami intimidasi dan kekerasan.” – Haris Retno

 

Apa yang Perlu Diperbaiki?

 

Meskipun regulasi ini merupakan langkah maju, diskusi Menco’an Pedes #2 menyoroti beberapa kelemahan utama dalam Permen LHK No. 10 Tahun 2024:
– Kurangnya mekanisme pengaduan yang cepat dan efektif
– Minimnya perlindungan fisik dan psikologis bagi perempuan pejuang lingkungan
– Tidak adanya sanksi yang tegas bagi perusahaan yang melakukan kriminalisasi aktivis
– Kurangnya perspektif gender dalam kebijakan ini

 

Sebagai perbandingan, beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada telah memiliki mekanisme anti-SLAPP yang lebih maju, seperti early dismissal untuk menghentikan gugatan tidak berdasar, serta sistem kompensasi bagi korban kriminalisasi. Indonesia perlu belajar dari praktik-praktik ini untuk memperkuat perlindungan terhadap pembela HAM lingkungan.

 

Simak cerita inspiratif ini dan dengarkan suara para perempuan pejuang lingkungan di Podcast MAF! Klik tautan berikut untuk menonton

Scroll to Top