Menenun menjadi ruang untuk bersuara. Setelah membaca artikel tersebut saya tersadar bahwa sering kali ruang-ruang kita sebagai masyarkat untuk bersuara tak jarang tidak terdengar sama sekali. Yang seharusnya menjadi mutlak hak masyarkat untuk hidup dan bertumbuh dalam sebuah kehangatan lingkungan justru sering kali tergerus oleh kepentingan oknum-oknum.
Jika lingkungan yang seharusnya menjadi ruang bagi masyrakat untuk bertumbuh kian memudar, maka bersuara, bertindak adalah ruang terbaik untuk mempertahankan. Langkah terbaik yang telah diambil oleh warga Mollo bersama dengan Mama Aleta.
Selama kurang lebih satu tahun setengah, saya juga tumbuh dalam lingkungan yang mengandalkan alam dan tenun sebagai sumber komoditas perekonomian. Selama melihat dan tumbuh bersama, saya menyadari bahwa menenun betul-betul menjadi wadah untuk asa dan harapan masyarakat. Begitu banyak asa dan mimpi yang terwujud dalam setiap helaian kain-kain yang menacarkan pesona dan ciri khasnya. Membuat kain tenun dengan bahan yang diambil dari alam serta mengolahnya dengan cara yang tradisional adalah bentuk keindahan dan budaya yang mesti harus terus dipertahankan. Dan betul sekali bahwa seiring berjalannya waktu dan begitu maraknnya benang-benang pabrik, atau warga desa kami biasa menyebutnya dengan istilah “benang toko” membuat kain khas yang seharusnya dibuat dengan tradisional kini sering kali tergeser oleh eksistensi benang pabrikan. Memang pembuatan benang tersebut terkesan menjadikan sarung mudah untuk dihasilkan, tetapi saya sering kali menyadari bahwa nilai-nilai yang dulunya diturunkan oleh Nenek Moyang kepada generasi saat ini dapat memudar seiring berjalannya waktu.
Meskipun membuat kain tenun dengan proses manual serta memanfaatkan hasil alam sebagai pewarnanya terkesan begitu panjang dan sering kali memang memakan tenaga dan waktu, tetapi itulah ciri khasnya. Menurut saya filosofi sosok Ibu dan keindahan perjuangannya terpancar dengan nyata melalui proses itu. Menurut saya perjuangan itu yang begitu sangat dirindukan untuk terus ada eksistensinya.

Tak hanya menenun saja, nilai-nilai lain yang membuat saya begitu terkagum adalah rumah adat yang sampai saat ini masih ada dan terus dipertahankan. Sama seperti di desa saya, setiap masyarakat atau suku, rata-rata memiliki dua rumah. Salah satu rumah yang begitu luar biasa dan menyimpan nilai magis serta luhur adalah gambar dan bentuk konkret bahwa rumah tersebut adalah wujud fondasi dari kehidupan masyarakat itu sendiri. Begitu banyak sekali sejarah, cerita dan nilai-nilai luar biasa yang menjadi saksi bisu bagaimana perjuangan generasi-generasi sebelum kita hidup di situ. Sudah selayaknya rumah tersebut harus bertahan dan kian bertahan hingga masa mendatang. Setiap bangunan dari kayu, sudut-sudut, dan bahkan ilalang terus dipertahankan nilainya dengan mengikuti pola pada saat Nenek Moyang membangunnya hingga kini.
Menurut Selo Soemardjan, kebudayaan merupakan suatu sistem yang terdiri atas hasil karya manusia, gagasan, maupun pola perilakunya yang diwariskan secara turun-temurun serta berguna untuk mengatur kehidupan masyarakat. Selo Soemardjan juga berpendapat bahwa komponen kebudayaan teridiri atas; pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan teknologi.

Setelah melihat gambar dan artikel tersebut saya begitu terenyuh dengan perjuangan hebat warga Mollo. Seketika saya diajak untuk merasakan bagaimana kerasnya perjuangan warga untuk mempertahankan, menghidupkan dan memulihkan kembali adat dan budaya, lingkungan yang sesungguhnya harus dipertahankan terus dan terus. Sering kali saat dunia kian berkembang, pola pikir kian bertumbuh, masyarakat cenderung merasa bahwa adat, budaya dan tradisi lebih baik digeser dengan perkembangan teknologi. Padahal jika kita dapat merefleksikan lebih lanjut, adat, budaya, dan tradisi adalah media untuk kita menjaga alam dan semesta agar terus merangkul dan memeluk kita dengan hangat.
Jika kita dapat menganalogikan kondisi alam saat ini, mungkin alam saat ini sedang merasakan kesakitan yang amat mendalam. Hutan-hutan dibabat, tanah-tanah berpijak dan berdiam sering kali tergusur dan bahkan sering kali hutan adat yang dianggap memiliki nilai magis justru dianggap tak bernilai sama sekali. Sama seperti contoh yang tertera jelas pada cerita tentang Desa Mollo.
Sering kali juga banyak anak-anak muda seperti kami merasa acuh tak acuh dan lebih memilih menjadi tone deaf dan sering melupakan tradisi, adat dan budaya. Sudah begitu banyak sekali pergesekan nilai yang menyebabkan terjadinya disrupsi budaya secara besar-besaran. Meskipun betul bahwa teknologi memiliki sisi positifnya, tetapi tak jarang melalui teknologi juga
menjadi boomerang yang bahkan membuat moral menjadi menurun, sehingga bahkan sering kali menjadikan oknum tertentu dapat bersikap semena-mena.
Belum lagi anak-anak muda yang cenderung menganggap bahwa budaya dan adat adalah satu kesatuan yang tidak praktis dan membuat ribet. Padahal jika kita dapat menelisik ke depan , siapa yang akan meneruskan warisan leluhur tersebut jika bukan anak muda. Dan yang akan menjadi lebih menakutkan lagi bahwa semua yang sedang dipertahankan saat ini akan hilang seiring waktu kian berputar.
Mendirikan sekolah menenun menurut saya adalah sebuah langkah yang amat luar biasa. “Menenun dapat menjadi media untuk teriakan lantang jika suara belum terdengar”. Lewat kain yang dihasilkan akan semakin membuka mata banyak orang untuk lebih mengenal apa itu desa Mollo dan bagaimana sebetulnya perjuangan masyarakat untuk terus bertahan di tengah tergerusnya moral, adat, budaya dan oknum-oknuum yang sering kali memanfaatkan yang bukan haknya. Begitu juga tempat lain yang terus mencoba untuk melestarikan budaya menenun.
Menenun dan kain tenun adalah dua corong yang kelak mampu mengubah dan membawa perbaikan bagi mereka yang terus lantang untuk memperjuangkan keadilan. Dan saya percaya semakin kain tenun diperkenalkan ke luar, semakin kain tenun dan para perempuan yang berkontribusi dalam perubahan tersebut dikenal, maka suara itu akan semakin jelas terdengar. Tak lagi samar suaranya, tetapi suara itu akan semakin jelas.
Untuk saat ini mungkin tak terlalu banyak anak muda seperti kami yang peduli dan ingin semakin mengenal apa itu menenun dan bangga menggunakan kain sarung. Tetapi jika suara itu terus digaungkan maka tidak akan tidak mungkin bahwa rasa cinta pada tradisi dan budaya itu akan hidup dan menjalar hingga ke berbagai generasi.Menenun juga adalah media hebat yang mampu untuk menyuarakan tentang kondisi alam, budaya dan tradisi saat ini.
Penulis : Millenia Averina I.L



