Ibarat batu Nausus penjaga nama dan alam. Empat perempuan adat saling bercerita melalui surat tentang pengalaman, pemikiran, dan aksi perlawanannya menjaga alam dari perusakan. Selain melestarikan pangan lokal, mereka juga berada di garda terdepan dalam mempertahankan tanah ulayat dan hutan.
Mereka adalah Aleta Baun dari Mollo NTT, Jull Takaliuang dari Sangihe Sulawesi Utara. Gunarti dari Kendeng Jawa Tengah, dan Maria Loreta dari Adonara di NTT.
Pengalaman dan pemikiran perempuan yang disampaikan dalam bentuk “ Surat dari Nausus ”. Surat-surat itu dipercakapkan pada panel “Senjata Kami adalah Ritual Adat: Surat-Surat dari Nausus, Perempuan di Garda Depan Perjuangan Tanah Air”. Itu dihadiri oleh Mama Aleta Fund (MAF) pada Konferensi Feminisme di Indonesia, Konferensi Kartini tentang Feminis Indonesia (KCIF) yang telah berakhir bulan lalu, 21 September 2025.
Istilah ‘Nausus’ diadopsi MAF untuk menyebut perempuan pembela HAM dan lingkungan di garis depan yang menyelamatkan dan merawat kampung halaman. Dalam bahasa Dawam, nausus berarti batu yang menyusui . Bagi orang Mollo, batu yang berhubungan dengan marga; tanpa batu nama, tidak ada marga. Kesadaran inilah yang membuat masyarakat Mollo menolak kehadiran tambang alami di wilayah adat mereka.
Surat dari Aleta Baun, perempuan adat Mollo NTT, ditulis untuk peringatan Hari Anak, 23 Juli, dan menyoroti pentingnya pendidikan non-formal. Ia menyaksikan bagaimana sekolah formal di Nusa Tenggara Timur baru saja melahirkan anak-anak yang meninggalkan kampung. Mereka menjadi pekerja migran demi menafkahi keluarga. Padahal menurutnya, pulau Timor kaya akan pengetahuan, tradisi, dan alam yang menyediakan kebutuhan sehari-hari.
Bagi mama Aleta, pendidikan non-formal yang dialihkan pada pengetahuan lokal sangat penting membuat anak-anak tumbuh sesuai latar hidup mereka.
Sementara itu, Gunarti dari Kendeng Jawa Tengah menulis surat dalam bentuk tembang untuk peringatan Hari Kartini. Ia menuliskan harapan: agar alam tetap lestari bagi dirinya, keluarganya, komunitasnya, dan generasi mendatang. Namun, harapan itu terus-menerus terancam pada ancaman izin tambang semen yang menghancurkan mata air, sawah, dan penghidupan warga.
Melalui tembang, Gunarti mengajak perempuan di manapun ia berjuang dengan caranya sendiri untuk menjaga dan memulihkan alam. Sebab semua perempuan bisa berjuang seperti Kartini.
Para Nausus memilih surat sebagai media menyampaikan pikiran-pikirannya, seperti Kartini. Surat-surat Kartini mengajarkan pentingnya literasi kritis untuk membuat pengalaman perempuan dipahami dan terlihat. Terutama ketika mereka dinomorduakan, dipingit, dikekang dan dipoligami di bawah kolonialisme.
Lebih jauh lagi, ia menunjukkan bagaimana eksploitasi tubuh perempuan sebagai lanskap yang dijajah dengan segala aturan sosial di bawah kekuasaan patriarki, feodalisme dan kolonialisme. Dia sakit hati menyaksikan berbagai bentuk kekangan terhadap pribumi digaji rendah. Mereka dipersulit mendapatkan pendidikan, dilarang menggunakan bahasa Belanda, dan berpikir terhadap perempuan. Termasuk pemingitan dan poligami.
Belum semua surat Kartini terungkap, dari 400 surat yang ditulisnya kepada 16 orang koresponden, tak sampai sebagian yang bisa dibaca publik, dan baru 179 surat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Seperti yang dimuat dalam buku “Kartini, hidupnya, renungannya dan cita-citanya” karya Prof. Wardiman Djojonegoro (2024).
Kartini memaparkan bagaimana pengalaman dan perasaan perempuan yang diatur-atur oleh kekuasaan kelas, gender, agama, umur, dan pendidikan. Namun, pengetahuan dan dukungan keluarga, saudara kandung dan sahabat-sahabat persahabatannya membuatnya kuat.
Di tengah mengambil-pembatasan sosial yang menghadapnya, Kartini muda mampu menunjukkan perempuan memiliki kemampuan menjadi peneliti, pemikir, wartawan, pembatik, desainer ukir, pemberdayaan, guru, dan mentor, socialpreneur , dengan cita-cita kehidupan yang lebih baik bagi bangsanya.
Meskipun Indonesia sudah merdeka, hubungan kekuasaan yang dihadapi Kartini tidak serta merta hilang. Kuasa kolonial bertransformasi melekat dalam bentuk kekiniannya, negara modern. Semangat negara menguasai ruang kehidupan rakyatnya dilakukan melalui pemberian izin dan konsesi pada proyek-proyek ekstraktivisme, khususnya sejak masa Orde Baru.
Upaya ini didahului dengan gerakan pernikahan kiri di Indonesia dua tahun sebelumnya, yang dikenal sebagai peristiwa Pernikahan 1965. Ini menunjukkan bagaimana trajektori kekerasan berkelindan dengan trajektori kapitalisme di Indonesia. Peristiwa 60 tahun lalu ini terus membekas tanpa penyelesaian yang adil, termasuk digunakan untuk menstigma perempuan dan komunitasnya sebagai komunitas saat menolak proyek pembangunan yang merusak.
Namun, seperti Kartini, di tengah menghadapi hubungan kekuasaan yang berlapis-lapis, termasuk kualitas hidup mereka yang menurun akibat alam sekitar yang rusak, ditambah lagi menghadapi dampak perubahan iklim. Para perempuan Nausus menunjukkan mampu tampil memimpin perlawanan menyelamatkan dan memulihkan kampung halaman. Lebih jauh perjuangan mereka dan perempuan lain di seantero nusantara menunjukkan perempuan dan komunitasnya tidak tinggal diam saat ruang hidupnya dirusak korporasi, pemerintah dan elit lokal.
Melestarikan Pangan Lokal dan Gerakan Merawat
Dalam kesempatan itu, seorang anak muda dari Alor, NTT, Arni Magdalia, menuturkan bagaimana stigma negatif sering melekat pada makanan di daerahnya: “Banyak yang bilang makanan NTT tidak enak. Kalau sudah begini, bagaimana kami bisa bangga pada pangan lokal?”
Mendengar pernyataan itu, Aleta Baun menanggapi dengan tegas, “Itu kata bodoh. NTT kaya alam, tenun, pangan, dan pengetahuan. Makanan lokal itu sehat, sementara makanan olahan itu setan.”
Maria Loretha menambahkan bahwa kurangnya dukungan terhadap budidaya sorgum membuat pangan lokal sulit berkembang, padahal dukungan dari pemerintah dan masyarakat dapat membangkitkan kebanggaan pada pangan lokal.
Upayanya merawat pangan lokal juga dibuktikan dengan aktivitasnya sebagai Pendiri Sekolah Agro Sorgum Flores. Selain membudidayakan sorgum, dia juga mengajak para petani untuk diberdayakan dengan pengetahuan tentang pangan lokal.
Sementara itu, Jull Takaliuang dari Sangihe Sulawesi Utara, menulis surat untuk menyambut Hari Perempuan Internasional. Ia merefleksikan kekuatan solidaritas antar-Nausus, mengenang sekaligus keberadaan perempuan-perempuan lain yang berjuang mempertahankan ruang hidup. Bagi Jull, menulis surat adalah cara untuk saling menguatkan dan menyadari bahwa perjuangan ini tidak dijalani sendirian.
Jull Takaliuang menutup dengan refleksi bahwa saat ini harapan tidak bisa sepenuhnya bertumpu pada negara, karena dari rezim ke rezim, negara tidak pernah benar-benar berpihak pada rakyat, apalagi perempuan.
Harapannya, harus ditanamkan pada diri sendiri sambil terus membangun jejaring solidaritas, katanya. Senada, Gunarti mengingatkan pemerintah yang sering melupakannya. Oleh karena itu, perempuan harus mempertahankan prinsip dan tujuan menjaga keharmonisan dengan alam, agar ia tetap bisa diwariskan pada generasi berikutnya.
Konferensi Kartini ini, menjadi ruang pertemuan antara akademisi, aktivis dan perempuan pembela HAM, sebuah upaya menjembatani pengetahuan akademik dan pengalaman nyata perempuan di komunitas. Jika pengetahuan hanya berputar di ruang akademik, ia berisiko menjadi sekadar pengetahuan demi pengetahuan, terpisah dari kenyataan, apalagi perubahan sosial. Sebaliknya, jika pengalaman perempuan di lapangan hanya dijadikan objek penelitian tanpa dikembalikan kepada mereka, praktik itu tak mengubah kolonisasi pengetahuannya.
Selama delapan hari, peserta diajak membahas persoalan perempuan di bawah rezim yang semakin militeristik, dan bagaimana perempuan meresponsnya. Salah satunya tentang pengalaman perempuan yang hidup di zona-zona ekstraktivisme seperti pertambangan, perkebunan kelapa sawit dan hutan kayu skala besar.
Surat dari Nausus hadir untuk menegaskan bahwa pengetahuan lokal, yang bersumber dari alam dan keahlian leluhur, harus mendapatkan tempat yang setara.
Judul panel “Senjata Kami adalah Ritual Adat” sebenarnya sebuah ajakan untuk mengajak alam dan leluhur berkoalisi melawan perusakan alam dan memulihkan kampung halaman, termasuk pangan lokal.
Sumber : konde.co



