web analytics
Home » Blog » Tembang Dhandhanggulo: Mantra Pelindung dan Pengetahuan Tubuh yang Hidup
Tembang Dhandhanggulo: Mantra Pelindung dan Pengetahuan Tubuh yang Hidup

Tembang Dhandhanggulo: Mantra Pelindung dan Pengetahuan Tubuh yang Hidup

Orang Jawa percaya bahwa tembang bukan sekadar lagu. Ia adalah kidung, doa, mantra, bahkan pagar gaib yang menjaga kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk tembang yang dikenal adalah Dhandhanggulo, dan salah satunya adalah Kidung Rumekso Ing Wengi—karya Sunan Kalijaga, seorang wali yang dikenal memadukan ajaran Islam dengan budaya lokal.

Kidung Rumekso Ing Wengi dilantunkan ungkapan hati saat malam tiba sebagai tembang perlindungan dari marabahaya, gangguan makhluk halus, dan niat jahat manusia. Dalam bait-baitnya terselip doa, mantra, sekaligus filosofi hidup yang menjadikan tubuh dan alam semesta saling menjaga. Ia menjadi bukti bahwa tembang bukan hanya tradisi, melainkan warisan spiritual yang terus hidup dan menyertai perjalanan manusia Jawa.

Dhandhanggulo terdiri dari dua kata. Dhandhang artinya berharap sementara gulo atinya rasa manis. Harapan atau keinginan yang berakhir dengan manis. Tembang ini biasanya dilantunkan dalam dua bait (rong podo). Saat malam telah sunyi dan sawah terlelap, bait pertama bergema untuk ngerekso yang dimaknai menjaga padi dari segala bentuk gangguan. Seperti jin, setan, hingga niat jahat manusia dipercaya tak berani mendekat. Api bisa berubah menjadi air, pencuri kehilangan niatnya, dan santet menjadi debu tak berarti. Tembang menjadi pelindung, seolah tubuh petani dan tanaman menyatu dalam nyanyian malam.

Bait kedua membawa makna penyembuhan. Gangguan tak kasat mata, penyakit, dan hama dipercaya akan kembali ke asalnya. Bahkan tikus yang merusak padi pun bisa luluh karena getaran kasih sayang dalam tembang. Hidup yang berat terasa ringan, seperti kapas jatuh di tangan seorang resi. Semesta merespons suara hati yang bersih dengan perlindungan dan keseimbangan.

Tembang ini adalah pengetahuan hidup yang lahir dari pengalaman, tubuh, dan relasi manusia dengan alam. Pengetahuan seperti ini tidak lahir dari buku atau universitas, tetapi dari hubungan dengan bumi. Ia hadir dari tanah yang diinjak, dari angin yang menyapa, dari air yang diminum, dan dari hidup yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seperti yang dikatakan Gunarti, Nausus dari Kendeng:

“Kami ini sekolahnya di sawah, bukan di kampus. Tapi kami paham betul arti kehidupan.”

Demikian pula tembang Dhandhanggulo, ia adalah warisan hidup. Ia bukan hanya suara, melainkan tubuh pengetahuan yang menjaga, mengobati, dan menghubungkan manusia dengan alam semesta.

Scroll to Top