web analytics
Home » Blog » Surat dari Mardiana Perempuan Dayak, Ma’anyan, Barito Timur, Kalimantan Tengah
Surat dari Mardiana Perempuan Dayak, Ma’anyan, Barito Timur, Kalimantan Tengah

Surat dari Mardiana Perempuan Dayak, Ma’anyan, Barito Timur, Kalimantan Tengah

Saya, Mardiana Didana, perempuan adat Dayak Ma’anyan dari Barito Timur. Saya  menulis surat ini sebagai kisah yang saya lihat, saya dengar, saya jalani, dan saya tanggung bersama masyarakat adat di tempat kami.

Saya bukan orang berpendidikan tinggi. Saya seorang ibu, seorang nenek, seorang healer dan seorang perempuan adat yang hidupnya berubah sejak hutan dan tanah kami diambil perusahaan-perusahaan tanpa permisi. Ketika saya tidak bisa lagi menahan sakitnya di dalam hati, saya menuliskannya di sini supaya siapa pun yang membaca jadi tahu bahwa apa yang terjadi di Barito Timur. Ini bukanlah cerita kecil atau masalah sepele, namun persoalan hidup mati bagi kami, masyarakat adat.

Dulu sebelum perusahaan masuk, hidup kami sangat berbeda. Sangat tenang. Tidak banyak uang, tetapi cukup. Saya masih ingat betul betapa kaya alam kami dulu. Hutan menyediakan pangan sehari-hari, rebung, pakis, buah-buahan, bahkan obat-obatan. Tanah menyediakan tempat belajar, tempat ritual, tempat kami merasakan kebersamaan. Sungai adalah sumber air minum kami. Kami tidak pernah kekurangan dan tidak pernah merasa takut untuk besok makan apa. Karena alam memelihara kami seperti seorang ibu memelihara anak-anaknya. Semua lengkap: pangan, pengetahuan, pengobatan, ekonomi, dan ketenangan jiwa.

Leluhur kami tidak pernah mengajarkan kami tentang uang sebagai ukuran hidup. Yang mereka ajarkan adalah hidup rukun, damai, saling menjaga, dan menjaga alam. Itulah warisan yang kami terima dan itulah yang sekarang direnggut perlahan-lahan.

Kondisi Sungai Mabayui yang tercemar

Perubahan besar dimulai ketika perkebunan kelapa sawit dan tambang batu bara datang. Saya menyaksikan bagaimana perusahaan-perusahaan itu masuk tanpa sepenuhnya diketahui masyarakat. Di wilayah Janah Jari, awalnya ada perkebunan karet milik PT Hasfarm sejak tahun 1990-an hingga tahun 2000-an. Tapi kemudian, tanpa pemberitahuan yang jelas, perkebunan karet itu berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Pengambilalihan itu berlangsung diam-diam, dan ketika masyarakat sadar, kebun itu sudah beroperasi sebagai kebun sawit sepenuhnya. Hutan adat seluas 220 hektare yang sudah ada diatur dengan hukum adat jadi hilang begitu saja. Belum termasuk hutan milik keluarga-keluarga dan hutan pribadi.

Bahkan yang lebih menyakitkan, Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan itu ternyata mencakup sampai ke tengah desa. Di Janah Jari, HGU masuk membelah RT 1, RT 2, dan RT 3. kami kaget, iba-tiba rumah masyarakat, gereja, kuburan, masjid, semua dicap sebagai bagian dari wilayah HGU. Bagaimana bisa? Masyarakat yang tinggal turun-temurun dianggap “masuk wilayah HGU”, padahal justru HGU-lah yang masuk mengklaim wilayah masyarakat. Hal seperti inilah yang saya maksud sebagai bentuk penjajahan baru. Penjajahan oleh orang kita sendiri, dengan ijin dari pemerintah yang seharusnya melindungi rakyatnya.

Belum berhenti di situ. Di wilayah lain, masuk pula perusahaan tambang batu bara PT ASL (Alam Sukses Lestari), anak perusahaan PT Adaro Energy Indonesia, mengklaim tanah di tiga desa sekaligus, yakni Tanirang, Harara, dan Pulau Patai. Klaim mereka itu membuat masyarakat kehilangan akses terhadap wilayah adatnya sendiri.

Kondisi sekitar Sungai Mabayui

Di Barito Timur juga ada PT Bangun Nusantara Jaya Makmur (BNJM) dan anak-anak perusahaannya, termasuk PT. Lutus dan PT Berkarya Abadi Selalu (BAS). Mereka pernah masuk wilayah adat yang dijaga oleh beberapa keluarga kecil yang tinggal di Dusun Gunung Karasik. Jumlah keluarga penjaga wilayah adat kami ini memang sedikit, tetapi semangat mereka sangat besar. Mereka bertahan, meskipun dihina, dicaci, dilecehkan, dan dianggap tidak tahu diri karena menolak penambangan. Bagi mereka, wilayah itu bukan sekadar tanah: di sana ada sumber air minum, ada pohon-pohon besar tempat lebah membuat madu, ada tempat-tempat ritual leluhur, ada pohon kayu ulin yang dilindungi.

Sungguh menyakitkan melihat orang-orang yang mengaku Dayak Ma’anyan, mengaku keturunan Nasernay, tetapi justru mereka sendiri yang menjual tanah atau mendukung perusahaan merusak tanah adat kami. Lebih menyakitkan lagi ketika perangkat desa (kepala dusun, RT) ikut berpihak kepada perusahaan karena tekanan dari atas. Inilah yang membuat masyarakat bingung dan kecewa: orang yang seharusnya membela justru menjadi orang yang membuka pintu bagi kerusakan.

Saya sudah sering mendampingi masyarakat menghadapi semua ini. Kadang saya harus menahan air mata saat melihat kerusakan yang begitu parah. Sungai yang sudah tidak memiliki air bersih, hutan yang habis ditambang, dan masyarakat yang kehilangan tempat hidupnya. Di Gunung Karasik misalnya, dari tahun 2005 sampai 2014 masyarakat tidak cukup memiliki air minum, karena sumber air mereka rusak akibat tambang. Mereka menuntut agar perusahaan memulihkan kembali kualitas air itu, menutup lubang-lubang tambang, dan mengembalikan wilayah adat mereka. Itulah kenapa kami melakukan penanaman kembali pohon-pohon, melakukan ritual adat untuk memohon restu leluhur, dan berjuang agar hutan yang rusak itu bisa pulih.

Tetapi perjuangan perempuan-perempuan adat tidak pernah mudah. Banyak yang mundur karena takut dibenci orang, takut dimusuhi, takut dikriminalisasi.

Mereka bilang kepada saya, “Bu, berjuang itu melelahkan. Tidak ada habisnya.” Saya tahu itu. Tapi saya juga selalu bilang kepada mereka bahwa perjuangan leluhur dulu lebih berat. Mereka menumpahkan darah, air mata, dan keringat demi kemerdekaan ini. Masa kita menyerah hanya karena tekanan perusahaan?

Saya sendiri pernah hampir mati karena sakit kanker. Tahun 2001, dokter berkata usia saya tinggal enam bulan. Tapi Tuhan memberi saya hidup lebih lama. Sejak itu, saya berjanji kepada Tuhan bahwa hidup saya yang tersisa akan saya serahkan untuk memperjuangkan masyarakat saya, tanah saya, dan generasi yang akan datang. Makanya saya tidak pernah merasa capek. Karena saya tahu saya sedang melakukan sesuatu yang benar.

Yang membuat saya paling sakit bukan ancaman, bukan caci maki, bukan surat-surat panggilan dari aparat hukum. Yang paling membuat saya sakit hati adalah pengkhianatan. Pengkhianatan dari orang-orang yang seharusnya menjaga tanah ini bersama kami. Pengkhianatan kepada leluhur, kepada Sang Pencipta, kepada generasi yang akan datang.

Karena itu saya selalu berkata:
 Stop berkhianat kepada Sang Pencipta.
 Stop berkhianat kepada bumi atau ibu pertiwi.
 Stop berkhianat kepada leluhur.
 Stop berkhianat kepada rakyat.

Perjuangan ini memang berat. Tapi saya yakin, selama kita tetap bersatu dan tidak saling mengkhianati, kita masih bisa memulihkan yang rusak, mengembalikan yang dirampas, dan mempertahankan apa yang masih tersisa.

Saya menulis surat ini agar siapa pun yang membaca tahu bahwa perjuangan perempuan adat di Barito Timur bukan hanya tentang perusahaan yang masuk. Ini tentang hidup yang diambil perlahan-lahan, tentang masa depan yang terancam. Tentang air yang hilang. Tentang pohon yang tumbang. Tentang tanah yang tidak lagi dikenali oleh generasi muda.

Surat ini bukan sekadar ungkapan amarah saya. Kenyataan yang saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri: perusahaan-perusahaan datang ke tanah kelahiran saya dan mengubah hidup kami dari akar sampai ke ujung-ujung rantingnya. Ini sama saja berupa pembunuhan secara perlahan-lahan dengan pemiskinan secara besar-besaran terhadap masyarakat adat. Itulah cerita kenyataan kami.

Saya akan tetap berdiri bersama masyarakat saya sampai Tuhan sendiri yang memanggil saya pulang.

Dengan hormat,
Mardiana Didana

Scroll to Top