Sangihe: Pulau Indah yang Terancam Tambang Emas
Di sudut terpencil Laut Sulawesi, Pulau Sangihe terletak di antara Sulawesi Utara dan Mindanao, Filipina. Pulau ini masih menyimpan keindahan alam dengan pantai-pantai menawan, hutan hujan primer, pegunungan, perbukitan hijau, serta hutan bakau yang lestari. Sebanyak 150.000 penduduknya, yang mayoritas beragama Kristen, menjalani kehidupan sederhana dengan menangkap ikan, bercocok tanam pala dan sayuran, serta memelihara ternak.
Di atas Sangihe, Gunung Awu menjulang dengan kawah yang mencapai lebih dari 1.300 meter. “Kami memiliki kehidupan sederhana yang menyatu dengan alam, dan itu adalah kemewahan yang tidak dimiliki penduduk kota,” ujar Jull Takaliuang melalui Facetime. Namun, ketenangan Sangihe kini terancam oleh eksploitasi tambang emas.
Kontrak Tambang Selama 33 Tahun
Pada akhir 1990-an, sebuah perusahaan tambang Kanada memperoleh kontrak untuk menambang emas di Sangihe di bawah rezim Soeharto. Kontrak tersebut berlaku selama 33 tahun, dari 2021 hingga 2054, dengan konsesi seluas 42.000 hektar atau sekitar 60 persen dari luas pulau.
Pada 2021, ekskavator, buldoser, dan truk-truk besar pertama kali tiba di Sangihe, mengejutkan penduduk setempat. Jull, bersama banyak perempuan Sangihe, mendirikan kelompok aksi Save Sangihe Island (SSI). “Sebagai aktivis lingkungan, saya telah mendampingi warga di pulau lain yang menjadi korban tambang. Trauma mereka sangat besar, dan kini itu terjadi di tanah kelahiran saya,” kata Jull.

Warga Sangihe melakukan demonstrasi di Jakarta dan kampung halaman mereka, menolak kehadiran perusahaan Kanada, Baru Gold, dan anak perusahaannya di Indonesia, PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Mereka memblokir pengiriman alat berat, meskipun sering kali kalah oleh intervensi polisi.
SSI kemudian membawa kasus ini ke pengadilan dan menang. Pengadilan Tinggi Jakarta membatalkan izin operasional penambangan emas dalam skala industri, karena izin lingkungannya dinyatakan tidak sah. Meskipun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta TMS mundur, Baru Gold tetap bersikeras bahwa mereka memiliki kontrak tambang yang sah.
Tambang Melanggar Undang-Undang
Undang-undang pengelolaan wilayah pesisir Indonesia melarang penambangan di pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 kilometer persegi. Sangihe hanya memiliki luas 736 kilometer persegi, sehingga kontrak tambang tersebut seharusnya tidak pernah ditandatangani oleh pemerintah.

“TMS memang belum memulai penggalian, tetapi mereka menyewa subkontraktor yang juga tidak memiliki izin,” jelas Jull. Foto udara menunjukkan bahwa dalam empat tahun terakhir, perbukitan hijau telah berubah menjadi galian tanah.
Menurut Jull, perusahaan tambang bertindak licik dengan mengadakan upacara seremonial di hadapan polisi, tentara, dan pejabat daerah untuk menandatangani kontrak dengan subkontraktor lokal. “Itu adalah bentuk tawar-menawar antara TMS dan pejabat daerah,” katanya. Namun, ia mengakui bahwa mereka tidak memiliki sumber daya untuk menyelidiki lebih lanjut kemungkinan korupsi atau suap. Beberapa polisi bahkan dilaporkan menjadi penasihat hukum bagi perusahaan tambang.
Limbah tambang yang mengandung bahan kimia beracun, seperti merkuri, dibuang ke daerah pesisir hutan bakau, menyebabkan kematian ikan dalam jumlah besar. Nelayan Sangihe pun kehilangan mata pencaharian mereka. Baru Gold membantah tuduhan ini dan menyatakan bahwa perusahaan tambang ilegal lah yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan.
Ancaman yang Lebih Besar

Situasi semakin memburuk ketika Hashim Djojohadikusumo, adik Presiden Prabowo Subianto, menjadi pemegang saham TMS sebesar 10 persen pada akhir 2024. Kini, ia menjabat sebagai kepala eksekutif perusahaan tambang tersebut. “Perusahaan ini kini dikendalikan oleh keluarga presiden, seolah-olah mereka di atas hukum,” ujar Jull dengan nada prihatin.
Sangihe juga terletak di atas Cincin Api Pasifik, di persimpangan dua lempeng tektonik yang terus bergeser. Gempa bumi kecil sering terjadi, dan tanah di Sangihe dipenuhi retakan besar. Jika bukit-bukit terus digali dan lubang-lubang besar dibuat, stabilitas pulau bisa terganggu. Jull membandingkannya dengan dampak ekstraksi gas di Groningen, Belanda, yang menyebabkan tanah ambles dan bangunan runtuh.
“Penambangan skala besar bisa menyebabkan pulau ini terbelah. Ancaman terbesar bukan hanya kerusakan lingkungan, tetapi keberlangsungan pulau itu sendiri,” tegas Jull.
SSI kini bersiap mengajukan tuntutan hukum baru dan memobilisasi penduduk untuk terus berjuang mempertahankan tanah leluhur mereka. “Kami akan menjaga alam Sangihe dan berdoa untuk keselamatan pulau ini,” pungkasnya.
Sumber: Artikel dimuat pada 31 Januari 2025 di Trouw.