“Tubuh alam adalah tubuh yang hidup, seperti tubuh manusia ” Kata Aleta Baun ketika memulai percakapan dengan Siti Maimunah dalam podcast Mama Aleta Fund. Saya tercenung mendengarnya, di hutan belantara obrolan lini masa, kalimat demikian tentu tak biasa. Menyamakan alam sebagai bagian dari tubuh manusia saya rasa tak banyak yang memikirkannya.
Dalam obrolan berdurasi 21 menit Aleta Baun menjelaskan bahwa tubuh alam seperti tubuh manusia. Ketika satu komponen hilang atau rusak maka tidak ada kehidupan. Ia mencontohkan air yang seperti darah dalam tubuh manusia yang tidak bisa digantikan. Tak hanya itu Aleta juga mengulas bagaimana keterhubungan satu sama lain antara manusia dengan alam, hubungan desa dengan kota yang mana apapun yang dilakukan akan terhubung dan berdampak untuk yang lainnya.
Podcast berjudul “Hubungan Desa dengan Kota” membawa perenungan mendalam dalam diri saya. Ada banyak pertanyaan yang muncul di kepala, apakah tindakan atau keputusan saya sudah benar, siapa yang telah dirugikan atas keputusan-keputusan tersebut?. Apakah kemalangan-kemalangan yang saya alami seperti menurunnya hasil panen di Desa saya akibat musim yang makin tak menentu adalah efek dari perbuatan atau keputusan yang diambil orang lain? Entahlah, untuk mengurai pertanyaan yang berjubel dalam kepala, saya mulai mencari jawaban dalam google tentang persoalan lingkungan yang sedang terjadi di Indonesia serta faktor-faktor penyebabnya.
Dari hasil pencarian, saya menemukan bahwa bencana industrial meningkat, termasuk persoalan polusi udara di Jakarta. Polusi di Jakarta kembali ke peringkat wahid sebagai udara dengan indeks kualitas tak layak hirup. Menurut berita yang dilansir https://www.greenpeace.org/, ada banyak faktor yang menyebabkan udara Jakarta semakin beracun. Selain polusi dari rumah tangga, nyatanya ada 22 juta kendaraan bermotor di Jakarta, atau 2x lipat lebih dari jumlah warga Jakarta itu sendiri. Selain itu di sekitar Jakarta sendiri memang sumber polutan — misalnya, di sisi barat terdapat kawasan industri di Karawang-Bekasi. Tak hanya itu, Jakarta juga dikepung 16 PLTU batubara yang residu asapnya bisa terbang hingga ke Jakarta meskipun letaknya di Banten atau di selatan Jawa Barat. Fakta lainnya, listrik di Jawa-Bali ternyata over supply.
Jika dilihat lebih mendalam krisis sosial ekologi yang terjadi di berbagai tempat hari ini, merupakan dampak dari pengadopsian warisan ekonomi kolonial oleh sistem kekuasaan di Indonesia yang menjadikan alam sebagai komoditas untuk dieksploitasi. Ditambah pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi semata mengantarkan Indonesia dalam cengkraman mendalam sistem ekonomi kapital yang menguntungkan segelintir elit dengan ongkos sosial dan ekologis yang ditanggung oleh penduduk dan lingkungan pada wilayah ekstraksi alam dan industri-industri turunannya. Bergandengan dengan sistem patriarki, sistem ini membuat perempuan menjadi kelompok yang paling dirugikan. Angka pertumbuhan ekonomi ditopang kerja gratis perempuan baik di perkotaan dan pedesaan. Secara sosial mereka ditempatkan sebagai penanggung terbesar kerja-kerja domestik dan pengasuhan anak. Kerja-kerja tersebut ibarat ‘subsidi” bagi buruh agar bisa dibayar murah untuk menopang berlangsungnya sistem ekonomi kapital.
Saya menyadari bahwa persoalan lingkungan di Indonesia seperti lingkaran setan, dan persoalan itu pun selalu dan akan selalu dikaitkan pada kebijakan yang dibuat pemerintah. Dalam situasi seperti ini, bisa jadi, melihat kembali alam seperti tubuh manusia menjadi cara pandang yang mendasar untuk mencari solusi dari persoalan lingkungan yang saling terhubung.