Pasal 66 UU PPLH sebagai ketentuan Anti-SLAPP belum mampu melindungi Perempuan pembela HAM atas lingkungan ( PPHAM Lingkungan) dari berbagai kekerasan berlapis dan berulang. Menurut teori hukum feminis dan Teori Friedman, kekerasan tersebut disebabkan oleh adanya kelemahan dalam substansi, struktur, dan kultur hukum ketentuan Anti-SLAPP. Kegagalan Anti-SLAPP dalam melindungi PPHAM Lingkungan diakibatkan substansi hukum yang masih mengandung beberapa kelemahan. Pertama, kerentanan dan praktik SLAPP yang terjadi pada PPHAM Lingkungan tidak termuat dalam risalah pembahasan UU 32/2009. Akibatnya, penyusunan Pasal 66 UU 32/2009 tidak berbasis pengalaman perempuan (bias gender) dan berkonsekuensi pada minimnya perlindungan bagi mereka.Kedua, Pasal 66 UU 32/2009 secara tersurat dan dalam kacamata hukum normatif bersifat netral.
Artinya, Pasal 66 UU 32/2009 tidak berpihak pada gender tertentu atau mencerminkan kesetaraan di depan hukum termasuk, jaminan pemenuhan hak bagi siapa pun yang berpartisipasi serta berjuang untuk memastikan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan demikian, Pasal 66 UU 32/2009 belum memadai menjadi dasar hukum atas: (1) penyelesaian atas kesenjangan akses hukum antara perempuan dan laki-laki,(2) penyelesaian kesenjangan antara si kaya dan si miskin, serta (3) kesenjangan yang diakibatkan latar belakang pendidikan. Ketiga, Penjelasan Pasal 66 UU 32/2009 mempersulit gerak PPHAM Lingkungan karena penyempitan makna partisipasi.
Penjelasan Pasal 66 UU 32/2009 bermakna, partisipasi menjadi sahih hanya bagi mereka yang menempuh jalur hukum, terkhusus pada ranah litigasi saja. Akibatnya, PPHAM Lingkungan yang berjuang di non jalur hukum (ruang publik) menjadi tidak diakui. Dengan demikian, jaminan perlindungan Pasal 66 UU 32/2009 belum dapat memenuhi kebutuhan perlindungan PPHAM Lingkungan. Terutama ketika perjuangan mereka bersifat kompleks di luar jalur hukum. Pasal 66 UU 32/2009 gagal melihat konteks sosial, politik, dan budaya masyarakat di Indonesia yang mencerminkan non-bias gender.Persoalan substansi hukum, Pasal 66 UU 32/2009 memiliki persoalan struktur hukum.Persoalan tersebut berupa ketiadaan peraturan pelaksana untuk implementasi pasal tersebut. Hal ini mengakibatkan APH dan pemerintah belum mampu memahami konteks perlindungan yang diatur dalam Pasal 66 UU 32/2009. Khususnya dalam menangani kasus SLAPP terhadap PPHAM Lingkungan.
Di samping ketiadaan peraturan pelaksana, persoalan struktur hukum Pasal 66 UU 32/2009 lainnya adalah, ketiadaan mekanisme koordinasi antar APH yang sinergis dan terinstitusionalisasi. Mekanisme koordinasi antar APH sesungguhnya kunci implementasi dan upaya penanganan kasus SLAPP yang efektif, terutama bagi PPHAM Lingkungan yang mengalami kekerasan berlapis.Selain permasalahan substansi dan struktur, Anti-SLAPP di Indonesia memiliki permasalahan kultur hukum. Kultur hukum Indonesia yang bersifat patriarki melemahkan fungsi Pasal 66 UU 32/2009 dalam melindungi PPHAM Lingkungan.Budaya patriarki di Indonesia masih menjustifikasi kekerasan terhadap PPHAM lingkungan,menjauhkan mereka dari akses partisipasi publik dan justru menghukum perempuan yang aktif berpartisipasi di ranah publik. Akibatnya, PPHAM Lingkungan rentan terviktimisasi dan justru menjadi pihak yang disalahkan atas SLAPP yang terjadi pada dirinya.
Jika dilihat menggunakan kerangka teori hukum feminis, terlihat bahwa reformasi hukum yang lebih adil gender mulai dari substansi, struktur hingga kultur hukum, merupakan sebuah tantangan yang hanya dapat diselesaikan dengan kerja-kerja pemberdayaan jangka panjang termasuk dalam penguatan perspektif gender.
Sitasi : Wongkar, E & Achmadi, J & Iswarini, T 2021, ‘Ketentuan dan Penegakan Hukum Anti-SLAPP terhadap Perempuan Pembela HAM atas Lingkungan Hidup dalam Perspektif Teori Hukum Feminis’, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol.8, No.1. Halaman 35-72, https://jhli.icel.or.id/index.php/jhli/article/view/371/131