Selamat Hari Pendidikan Nasional, njeh dulur-dulur.
Orang tua adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Pendidikan, dalam pemahaman saya, bukan melulu soal apa yang terjadi di gedung-gedung sekolah formal. Pendidikan bisa dilakukan di mana saja, dengan cara apa pun, selama itu baik dan mendidik. Dan itu harus dimulai sejak dini.

Ada tahapan-tahapan ketika anak masih balita, bagaimana seharusnya mereka dididik. Fokus dari orang tua sangat penting: mengasuh, merawat, mengajak berbicara, dan lainnya. Ibarat buku yang masih kosong dan jernih, orang tualah yang menulis dan menggoreskan tintanya di dalam buku itu. Ibarat mesin, orang tualah yang menyetir, mau diarahkan ke mana.
Dari usia lima tahun hingga sepuluh tahun, pendidikan anak sudah mengalami peningkatan. Mereka mulai diajari bagaimana orang tua berkegiatan di rumah, ke sawah, ke kebun, cara menyelesaikan masalah, cara bersosialisasi, memasak, menyapu, mencuci piring, mencuci baju, merawat ternak, dan sebagainya. Semua itu harus dipelajari. Sekolah adalah pasinaon—tempat belajar. Dan jika tidak dipelajari, tentu tidak akan bisa.
Orang yang belajar pasti memiliki cita-cita. Bagi kami, cita-cita itu sesederhana membenahi perilaku kehidupan sehari-hari dan bertutur kata yang baik: artinya jujur dan tidak menyakiti siapa pun, di mana pun, dan dalam kondisi apa pun. Karena jika menyakiti orang lain, itu sama saja dengan menyakiti diri sendiri—karena kita juga manusia.
Bagi kami, sekolah bukan hanya untuk anak-anak. Sekolah juga untuk orang tua, guru, dokter, dosen—semua, selama masih hidup, harus terus belajar. Kembali lagi ke tahapan-tahapan pendidikan: semua itu untuk apa? Bagi saya, kita harus menemukan dulu tujuannya.
Hidup ini adalah pendidikan, pelajaran, pasinaon. Selagi masih diberi kesehatan, nafas, dan umur panjang, kita harus selalu belajar. Belajar mengarungi kehidupan agar semakin berguna—bukan hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tapi juga untuk siapa pun, apa pun, dan di mana pun.
Mungkin saya tidak bisa berkata besar untuk nusa dan bangsa, tapi cukuplah untuk sesama hidup. Dan yang hidup bukan hanya manusia. Maka, bagaimana kita saling mengasihi, menghormati, bergotong royong, dan tolong-menolong? Nilai-nilai ini sering diucapkan, tapi sangat jarang dibuktikan.
Surat ini untuk siapa pun yang mau membaca. Sangatlah terhormat bagi saya jika sedulur semua yang disebut guru atau pendidik, yang tanpa tanda jasa, sudi membaca. Didiklah siswa-siswa kalian dengan jujur dan tulus. Bimbinglah mereka seperti anak kandungmu sendiri. Berikanlah arahan agar mereka bisa mencukupi kebutuhannya secara ekonomi dengan cara yang tidak menyakiti, merusak, atau berbohong. Bangunlah pondasi mereka dengan sekokoh-kokohnya.
Dan bagi kalian, anak-anak muda—siswa SD, SMP, hingga perguruan tinggi—ingatlah jerih payah orang tua kalian: mengandung, melahirkan, mengasuh, merawat, dan mencukupi kebutuhan kalian, selagi kalian belum mampu. Ingatlah perjuangan orang tua kalian, terlebih yang bekerja sebagai petani, tukang becak, atau pedagang keliling. Orang tua kalianlah guru sejatimu. Guru kedua barulah guru yang di sekolah formal. Hormatilah orang tuamu. Hormatilah Ibu Bumimu, yang telah memberi kehidupan. Jangan sakiti hatinya. Jangan kotori wajahnya dengan perilaku yang kurang terpuji. Jangan sekali-kali membuang sampah di tanah—itu sama seperti menaruh kotoran di wajah Ibu Bumi, apalagi tanpa meminta izin.
Tak perlu muluk-muluk memikirkan besok ingin jadi apa. Tapi dari sekarang, tanyakan pada dirimu: apa yang sudah kamu lakukan untuk menyenangkan hati orang tua? Orang tua tidak meminta harta berlebihan. Kesuksesan bukan hanya soal materi, ekonomi, atau harta benda. Karena semua itu tidak berumur panjang. Tapi kata-kata “mapan dan mumpuni”—itulah keseimbangan: tatanan ekonomi yang cukup, serta perilaku dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Saya paham bahwa setiap orang punya tujuan hidup masing-masing. Tidak bisa disamaratakan, dan tidak boleh.
Namun, ingatlah: keberadaanmu hari ini adalah karena adanya orang tua kemarin dan leluhurmu.
Dan keberadaanmu hari ini adalah harapan bagi generasi yang akan datang.
Maka dalam melakukan semua hal, pikirkanlah dengan matang. Pertimbangkanlah dengan seksama agar kehidupan bisa tetap selaras dengan alam.
Matur nuwun.