Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP 29) adalah pertemuan tahunan yang bertujuan membahas upaya global dalam menangani perubahan iklim. Tahun ini, COP 29 mengukur sejauh mana dunia telah berkomitmen pada Kesepakatan Paris dan target pembatasan kenaikan suhu global hingga 1,5°C. Namun, dalam perjalanan menuju solusi, masih banyak tantangan, termasuk memahami dan menangani apa yang disebut sebagai “krisis iklim.” MAF mewawancarai Pantoro Tri Kuswardono, Direktur PIKUL, salah satu pendiri Mama Aleta Fund, aktif sebagai penggiat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim dan pegiat lingkungan hidup, yang baru pulang dari Baku, Azerbaijan tempat COP 29 berlangsung sejak 11 – 22 November 2024. Ini adalah bagian dua dari seri wawancara mengangkat isu perubahan iklim.
MAF: Sebelumnya, kita membahas tentang krisis iklim yang tak lepas tentu tidak bisa lepas dari COP. Baru-baru ini COP 29 telah terselenggara di Baku Ibu Kota Azerbaijan. Mas Torry hadir distu, Bagaimana tanggapan Anda terhadap proses dan hasilnya? Bagaimana dinamika yang terjadi?
Torry: Iya, saya hadir di COP 29 di Baku. Menurut saya, hasilnya sangat mengecewakan. Ada beberapa poin yang menjadi sorotan.
Pertama, terkait pertanggungjawaban negara-negara maju seperti yang kita bahas sebelumnya. Seharusnya, ada langkah konkret untuk mendanai mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, juga kehilangan dan kerusakan (loss and damage). Namun, mereka hanya menjanjikan komitmen pendanaan sebesar 300 miliar dolar hingga 1.3 trilliun dolar hingga tahun pada 2035, itu pun belum pasti tercapai .
Kedua, tahun lalu sebenarnya ada kemajuan dengan pernyataan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil (phasing out fossil fuels). Namun, di COP 29, poin ini malah dihapus. Negara-negara maju lebih memilih menggunakan mekanisme carbon sink—mengandalkan alam dan teknologi sesat untuk menyerap emisi karbon sambil tetap mengeksploitasi bahan bakar fosil. Ini problematis karena carbon sink sering melibatkan wilayah masyarakat adat, sehingga berpotensi memicu perampasan tanah mereka. Padahal, kondisi bumi saat ini sudah tidak memungkinkan kita terus bergantung pada bahan bakar fosil.
Secara keseluruhan, tidak ada ambisi atau niat nyata dari negara-negara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca lebih jauh. Jika negara-negara maju saja tidak serius, negara berkembang pun sulit bergerak.
MAF: Jadi, menurut Mas Torry, negara-negara maju memiliki pengaruh besar dalam COP 29, ya?
Torry: Jelas. Ini adalah politik perundingan, dan negara-negara maju memiliki kepentingan besar. Menurunkan emisi berarti mengubah bisnis mereka, terutama yang berbasis bahan bakar fosil. Selama ini, kekayaan mereka berasal dari eksploitasi sumber daya alam, pencemaran lingkungan, dan perampasan lahan, yang semuanya berkontribusi pada krisis iklim.
Namun, jika mereka diminta berhenti, mereka khawatir akan kehilangan keunggulan ekonomi dibanding negara lain. Situasi ini menciptakan kebuntuan dalam negosiasi, karena tidak ada negara yang mau melemahkan ekonominya demi menyelamatkan bumi.
Padahal, solidaritas sangat dibutuhkan. Negara-negara maju telah kaya dari hasil eksploitasi negara-negara berkembang. Mereka seharusnya memikul tanggung jawab lebih besar agar bumi ini tetap bisa menjadi tempat yang layak huni. Sayangnya, tuntutan untuk berbagi tanggung jawab ini sulit diwujudkan dalam praktiknya.
MAF: Melihat ekspresi kekecewaan yang Anda sampaikan terkait COP 29, menurut Anda, apakah hasil COP 29 memperburuk kondisi masyarakat adat dan lingkungan?
Torry: COP 29 mungkin tidak secara langsung memperburuk kondisi masyarakat adat, tetapi ada potensi besar ke arah itu. Salah satu isu krusial ada di Pasal 6 Perjanjian Paris, yang mengatur perdagangan karbon.
Di Indonesia, upaya penurunan emisi sering difokuskan pada sektor kehutanan, dengan hutan dijadikan alat tukar dalam mekanisme perdagangan karbon. Namun, persoalannya adalah: apakah ketika hutan “digadaikan,” masyarakat adat yang menghuni wilayah tersebut dilibatkan dalam prosesnya? Ke mana dana hasil perdagangan karbon akan disalurkan? Siapa yang benar-benar akan mendapat manfaat?
Hal ini menjadi perhatian serius karena masyarakat adat merasa tidak ada perlindungan yang memadai (safeguards). Mereka khawatir lahan mereka akan dirampas tanpa ada pembicaraan yang melibatkan hak-hak mereka. Oleh karena itu, mereka berteriak menolak mekanisme jual beli penurunan emisi karbon yang dilakukan tanpa konsultasi dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat.
Mekanisme seperti ini berpotensi mengesampingkan masyarakat adat yang seharusnya menjadi penjaga utama kelestarian lingkungan. Jika tidak ada perlindungan hak, COP hanya akan menjadi ruang legitimasi bagi negara dan korporasi untuk terus mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat yang paling rentan.
MAF: Sistem perdagangannya seperti apa sih?
Torry: Ada tiga sistem utama dalam perdagangan karbon yang diatur oleh Pasal 6 Perjanjian Paris:
Pertama. Artikel 6.2 – Perdagangan Antar Negara (Bilateral)
Dalam sistem ini, negara-negara dapat melakukan perdagangan karbon secara langsung. Misalnya, Norwegia membeli pengurangan karbon dari Indonesia. Ketika transaksi ini terjadi, emisi yang berhasil dikurangi oleh Indonesia tidak bisa lagi diklaim sebagai kontribusi nasionalnya karena sudah dijual kepada Norwegia. Sebagai gantinya, Indonesia menerima kompensasi dalam bentuk uang.
Kedua. Artikel 6.4 – Sistem Pasar Internasional
Sistem ini menyerupai bursa karbon global di bawah mekanisme PBB. Negara-negara atau entitas lain dapat menawarkan dan membeli kredit karbon. Di sini, semua pihak dapat melihat siapa yang mengurangi emisi dan dalam jumlah berapa, kemudian memilih untuk membeli kredit dari pihak tertentu.
Ketiga. Artikel 6.8 – Mekanisme Tanggung Jawab Pembayaran (Results-Based Payment)
Dalam mekanisme ini, negara atau entitas akan dibayar jika berhasil menurunkan emisi karbon, tetapi pengurangan tersebut tidak diklaim oleh pihak pembayar. Contohnya, pembayaran yang diterima Indonesia dari Norwegia adalah bentuk mekanisme ini.
Saat ini, ketiga mekanisme tersebut (Artikel 62, 64, dan 68) telah disepakati sebagai bagian dari sistem perdagangan karbon internasional. Namun, yang menjadi tantangan adalah bagaimana memastikan mekanisme Monitoring, Reporting, and Verification (MRV) yang diterapkan bersifat transparan, akuntabel, dan tidak melanggar hak asasi manusia.
Hal yang mengkhawatirkan adalah mengapa perdagangan karbon justru menjadi fokus utama pembicaraan, bukan penurunan emisi itu sendiri. Padahal, logikanya, perdagangan karbon seharusnya menjadi langkah terakhir ketika upaya langsung untuk menurunkan emisi tidak mencukupi. Yang lebih menakutkan, penurunan emisi sering kali dilakukan melalui alam, seperti hutan, dan bukan melalui pengurangan emisi nyata dari aktivitas industri atau sumber lainnya. Padahal bukti-bukti saintifik menunjukkan bahwa kemampuan hutan untuk menyerap karbon semakin menurun seiring dengan naiknya suhu bumi. Bahkan pada titik tertentu dapat menjadi sumber emisi.
MAF: Apakah hasil dari COP 29 dapat berdampak langsung pada perbaikan kehidupan dan lingkungan? Jika ya, bagaimana implementasinya? Jika tidak, apa hambatannya?
Torry: Masih butuh waktu panjang untuk mencapai ambisi global agar manfaat dan beban dari kebijakan iklim bisa terdistribusi secara merata. Beban penurunan emisi dan manfaat dari kebijakan internasional masih belum sepenuhnya adil. Hal ini terjadi karena:
Pertama, Komitmen yang Ada Belum Cukup Ambisius
Meski semua negara berkomitmen menurunkan emisi, jika semua komitmen yang ada saat ini dijalankan sepenuhnya, kenaikan suhu bumi masih akan melampaui 1,5°C. Ini berarti risiko bencana iklim akan semakin tinggi.
Kedua. Keadilan Antar Negara
Penurunan emisi sangat bergantung pada kesediaan negara-negara maju untuk tidak bersikap egois. Mereka perlu memberikan rasa keadilan kepada negara-negara terdampak yang berkontribusi paling sedikit terhadap perubahan iklim.
Sayangnya, hingga kini, dinamika politik dan ekonomi global masih menjadi hambatan besar dalam mencapai kesepakatan yang benar-benar ambisius dan adil.
Ketiga, suara dari kelompok rentan
Meskipun sudah ada mekanisme platform bagi masyarakat adat dan komunitas lokal, juga pemuda untuk bisa bersuara dalam COP, tetapi suara mereka sering hanya dijadikan hiasan pembuka saja. Perhatian dari kelompok rentan termasuk usulan-usulan yang berbasis pada pengetahuan lokal, dan gagasan-gagasan progresif untuk keadilan antar generasi malah sering lewat. Kasarnya, didengar saja tapi tidak lebih. Kamu boleh bicara, dan diberi kesempatan bicara, tapi pertimbangan kamu tidak berarti apa-apa.