Maria Sanam adalah petani dan penenun. Ia juga pengutrus gereja di kampungnya. Ia percaya bahwa menjaga lingkungan bukan hanya tentang melindungi alam, tetapi juga mempertahankan kehidupan, identitas, dan martabat komunitasnya.
“Air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu adalah tulang.” Bagi Maria, kehilangan satu berarti kehilangan semuanya. Ia adalah Nausus angkatan pertama yang didukung MAF pada 2018. Dia salah satu perempuan Mollo yang mengakar kuat dalam perjuangan mempertahankan tanah leluhurnya.
Maria tinggal di Desa Fatumnasi, sekitar 4,5 jam perjalanan dari Kupang, NTT. Kampungnya berada di kaki Gunung Mutis, gunung tertinggi di Pulau Timor. Sehari-hari, ia memimpin kelompok ternak Sinar Faenman, yang sejak 2011 mengorganisir kerja-kerja bertani, beternak, dan menenun. Dari 38 anggota Sinar Faenman, 14 di antaranya adalah perempuan. Tidak semua anggota memiliki ternak sendiri; sebagian memelihara ternak orang lain atau sama sekali tidak beternak.
Namun, hidup di Fatumnasi bukan tanpa tantangan. Wilayah ini termasuk dalam Cagar Alam (CA) Mutis Timau, yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak 1983 dan semakin diperketat pada 2014. Padahal, masyarakat adat telah tinggal di sana jauh sebelum status konservasi ditetapkan. Ini memunculkan konflik kepentingan antara warga dan pemerintah, di mana warga kerap dianggap melanggar hukum karena berkegiatan di dalam CA, termasuk beternak dan bertani.
Langkah perjuangan Maria tidak hanya berhenti di Mollo. Ia belajar dari komunitas lain yang menghadapi tantangan serupa. Dalam studinya, ia bertemu dengan Gunarti dari Sedulur Sikep di Rembang, perempuan yang berjuang menolak tambang semen di Pegunungan Kendeng. Ia juga berdiskusi dengan Masnuah dari Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), yang memperjuangkan hak perempuan nelayan agar diakui secara hukum. Dari perjalanan ini, Maria semakin memahami pentingnya membangun kekuatan kolektif dalam menghadapi ancaman terhadap tanah dan sumber daya alam.
“Motivasi saya adalah bagaimana warga bisa terus menjaga dan berdaulat di tanah mereka sendiri,” ujar Maria. Melalui proses visioning yang difasilitasi Mama Aleta Fund, ia merumuskan impiannya: agar komunitasnya tetap bisa bertani dan beternak tanpa ancaman kriminalisasi, perempuan memiliki akses lebih luas terhadap sumber daya ekonomi, dan budaya Mollo tetap hidup dalam setiap aspek kehidupan masyarakatnya.
Maria tidak berjalan sendiri. Dengan dukungan komunitas dan organisasi yang percaya pada perjuangannya, ia terus melangkah, membangun strategi, dan memperkuat barisan. Ia tahu bahwa perjuangan ini bukan sekadar tentang bertahan, tetapi juga tentang memastikan bahwa generasi mendatang masih bisa merasakan tanah, air, dan udara yang sama seperti yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.