web analytics
Home » Blog » Dana Iklim, Perempuan, dan Krisis Iklim: Percakapan Pasca COP 29 Bersama Armayanti (SP)
Dana Iklim, Perempuan dan Krisis Iklim : Percakapan Paska COP 29 bersama Armayanti (SP)

Dana Iklim, Perempuan, dan Krisis Iklim: Percakapan Pasca COP 29 Bersama Armayanti (SP)

Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP 29) berlangsung di Azerbaijan pada 11-22 November 2024. COP adalah forum internasional tahunan yang mempertemukan hampir setiap negara untuk menyetujui tindakan mengatasi krisis iklim, seperti membatasi kenaikan suhu global, membantu masyarakat rentan beradaptasi, dan mencapai emisi nol bersih pada 2050. Konferensi ini juga melibatkan pemimpin dunia, negosiator, ilmuwan, masyarakat adat, dan masyarakat sipil untuk memperkuat aksi iklim global yang inklusif dan kolaboratif.


Selain perwakilan kelompok rentan tersebut sebenarnya krisis iklim sangat dirasakan oleh Perempuan sebab perempuan mengalami dampak langsung, seperti sulitnya  akses air bersih yang jaraknya semakin jauh dan mahal, beban kerja meningkat berkali lipat serta banyak waktu yang terkuras untuk mengatasi bencana yang tiada henti. Namun perempuan paling diabaikan saat membicarakan penyelesaian masalah, mengapa? Karena meja negosiasi COP 29 lebih mendahulukan kepentingan politik, ekonomi, dan bisnis kapital skala besar.


Hal inilah yang mendorong Mama Aleta Fund (MAF) untuk mengetahui pengalaman Armayanti Sanusi dari Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan sebagai salah satu observer di COP 29,bagaimana situasi COP 29 dalam perspektif ecofeminism.

 

Tantangan Utama di COP 29

MAF: Apa tantangan utama yang Anda lihat dalam pelaksanaan COP 29?


Armayanti: Salah satu tantangan terbesar adalah dominasi negara-negara maju dan institusi keuangan internasional dalam perundingan. Mereka sering kali mendorong solusi berbasis pasar seperti pasar karbon, yang justru memperburuk eksploitasi sumber daya alam dan mengabaikan suara perempuan serta masyarakat adat. Perempuan hanya menerima 0,1% dari pendanaan iklim global, meskipun mereka adalah kelompok yang paling terdampak. Selain itu, ruang negosiasi juga banyak dikuasai oleh bank dan institusi keuangan yang menawarkan skema pinjaman alih-alih pendanaan publik.

 

Urgensi COP 29 Bagi Perempuan

MAF: Jika situasi perundingan seperti itu, lantas apa urgensinya diadakan pertemuan COP 29, khususnya bagi perempuan?


Armayanti: COP 29 memiliki urgensi yang besar, terutama karena fokus pembahasannya adalah pendanaan iklim. COP 29 sering dijuluki sebagai perundingan yang berhubungan dengan climate finance, yaitu pendanaan untuk mitigasi, adaptasi, serta loss and damage. Hal ini terkait dengan tanggung jawab negara-negara maju dalam mendukung upaya global untuk menekan kenaikan suhu bumi agar tidak melampaui 1,5 derajat Celsius.


Salah satu agenda utamanya adalah membangun indikator yang jelas untuk loss and damage serta mekanisme pendanaannya. Dalam konteks perempuan, agenda yang paling mendesak adalah peta jalan untuk merumuskan perundingan-perundingan terkait gender action plan. Sayangnya, tantangan yang dihadapi cukup komprehensif, terutama dalam melibatkan teman-teman dari Women and Gender Constituency (WGC) untuk mengintervensi perundingan mekanisme tersebut.

WGC berupaya memastikan bahwa kepentingan perempuan, kelompok dengan ragam identitas gender, dan masyarakat adat terakomodasi dalam peta jalan yang dibangun. Hal ini sangat penting untuk merespons situasi nyata yang dihadapi perempuan, kelompok gender lainnya, serta masyarakat adat akibat krisis iklim, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

 

Dampak Krisis Iklim pada Perempuan di Negara Berkembang


MAF: Bagaimana situasi tersebut memengaruhi perempuan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia?


Armayanti: Ketimpangan ini sangat nyata. Perempuan di pedesaan dan pesisir, misalnya, kehilangan sumber mata pencaharian seperti pertanian dan perikanan akibat perubahan pola cuaca ekstrem. Beban kerja domestik mereka meningkat secara signifikan. Sayangnya, proyek adaptasi iklim sering kali tidak melibatkan perempuan dalam perencanaan, sehingga kebutuhan dasar seperti akses air bersih, pengelolaan pangan lokal, dan pelatihan keterampilan untuk ketahanan iklim tidak terpenuhi.

Kebijakan lingkungan di Indonesia, khususnya dalam konsep ekonomi hijau, masih cenderung minim melibatkan partisipasi perempuan secara bermakna. Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), misalnya, sering kali menafsirkan ekonomi hijau hanya sebatas transisi energi atau pengembangan usaha kecil menengah (UMKM), tanpa mempertimbangkan kearifan lokal dalam pengelolaan ruang hidup. Pendekatan ini kerap mengabaikan pandangan dan kebutuhan perempuan yang berinteraksi langsung dengan alam.


Contoh yang relevan adalah inisiatif dari Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) di Bengkulu. Kelompok ini memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, untuk menopang ekonomi desa. Mereka juga membentuk koperasi untuk mengelola hasil hutan secara berkelanjutan. Bagi perempuan di desa penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, hutan bukan hanya sumber ekonomi tetapi juga apotek, sumber pangan, dan bagian penting dari keberlanjutan komunitas mereka. Sayangnya, model seperti ini sering terpinggirkan dalam kebijakan yang terlalu terpusat dan kurang mendukung pendekatan berbasis komunitas dan kearifan lokal.


Krisis iklim juga menciptakan dampak berlapis bagi perempuan, antara lain:

      • Trauma Kolektif: Proyek-proyek iklim yang dilakukan negara, seperti pengambilalihan tanah adat oleh aparat untuk kepentingan konservasi atau pembangunan, menciptakan rasa kehilangan dan trauma mendalam bagi perempuan dan komunitas adat.

      • Ancaman terhadap Ketahanan Pangan Lokal: Ketergantungan perempuan pada sumber daya alam untuk kebutuhan sehari-hari, seperti bertani atau mencari ikan, semakin terancam oleh krisis iklim.

      • Kesehatan Reproduksi: Pola cuaca ekstrem, akses terbatas terhadap air bersih, dan perubahan lingkungan memengaruhi kesehatan reproduksi perempuan, termasuk kehamilan dan persalinan yang lebih berbahaya.

      • Peningkatan Perdagangan Manusia: Ketidakmaksimalan kebijakan negara dalam melindungi kelompok rentan menyebabkan tekanan ekonomi yang memaksa perempuan menjadi tulang punggung keluarga. Misalnya, nelayan yang tidak dapat melaut akibat cuaca ekstrem terpaksa menjadi buruh kasar, sering kali berisiko mengalami kecelakaan kerja, cacat, atau bahkan kehilangan nyawa.

      • Erosi Budaya: Ketika perempuan kehilangan ruang hidupnya, mereka juga kehilangan nilai-nilai budaya yang melekat pada tanah adat, seperti praktik pengelolaan lahan dan pengetahuan tradisional.

     

    MAF: Bagaimana gerakan masyarakat sipil berperan di COP 29?

     

    Armayanti: Gerakan masyarakat sipil memiliki peran yang sangat besar. Setiap hari, kami mengadakan refleksi, aksi, dan menyusun strategi baru. Meskipun ada pembatasan dari penyelenggara, seperti membatasi jumlah peserta aksi, semangat solidaritas tetap tinggi. Pada 22 November, kami melakukan “log out action” sebagai bentuk protes terhadap perundingan palsu di COP 29. Meskipun sempat terjadi polarisasi, akhirnya kami bersatu untuk menuntut keadilan iklim.

     

    MAF: Apa kritik Anda terhadap solusi berbasis pasar seperti pasar karbon?

     

    Armayanti:Solusi berbasis pasar sering kali hanya mengalihkan tanggung jawab dari negara maju ke negara berkembang. Proyek seperti pasar karbon sering melibatkan perampasan lahan tanpa konsultasi dengan masyarakat lokal, terutama perempuan. Skema ini tidak hanya meningkatkan konflik sosial tetapi juga menambah beban perempuan yang sudah menghadapi ketimpangan berlapis akibat krisis iklim. Target pendanaan sebesar USD 300 miliar pada 2035 juga jauh dari cukup untuk mengatasi kerugian dan kerusakan di negara-negara berkembang.

     

    Langkah Konkret untuk Keadilan Iklim

    MAF: Apa langkah konkret yang bisa diambil untuk memastikan keadilan iklim yang berperspektif gender?


    Armayanti:Langkah pertama adalah memastikan perempuan, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya terlibat aktif dalam pengambilan keputusan di semua tingkat, ini yang disebut dengan partisipasi bermakna. Krisis iklim bukan hanya persoalan teknis tetapi juga persoalan keadilan. Perempuan harus berada di pusat solusi untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan. Selain itu, pendanaan iklim harus berbasis hibah, bukan pinjaman, untuk menghindari jebakan utang bagi negara berkembang.

     

    MAF: Terima kasih atas waktu dan wawasan Anda, Armayanti. Pesan terakhir untuk pembaca kami?

     

    Armayanti: Perjuangan untuk keadilan iklim harus dilanjutkan, tidak hanya di meja perundingan tetapi juga di aksi nyata di tingkat lokal dan global. Solidaritas adalah kunci untuk mencapai perubahan yang kita inginkan.


    Penulis : Indah Rahmasari


    Scroll to Top