Komitmen pemerintah Indonesia terhadap realisasi CEDAW atau Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan perlindungan konstitusi atas perempuan Papua masih jauh dari harapan. Dalam dokumen Joint-Submission dinyatakan bahwa Pemerintah Indonesia dinilai telah gagal mengadopsi kerangka kerja lintas sektoral untuk mengatasi diskriminasi dan hambatan yang dihadapi perempuan adat untuk kemajuan mereka.
Perempuan adat yang juga sebagai Perempuan Pembela HAM (WHRD) mendesak kehadiran negara untuk mengakui, menghormati dan melindungi perempuan adat, serta meminta seluruh pemangku kepentingan terkait untuk menjaga lingkungan dan hutan, menghentikan berbagai bentuk kekerasan dalam bentuk apapun dan melibatkan perempuan adat dalam setiap pengambilan keputusan. Pemerintah diharap menghormati dan melindungi hak-hak perempuan adat dan menawarkan pengembangan kapasitas, pelatihan, layanan sosial, dan sumber daya, dengan cara yang sesuai secara budaya melalui lembaga perwakilan mereka.
Identitas budaya marga Baho dari suku Maybrat di Kabupaten Maybrat, Papua Barat terancam punah akibat investasi perkebunan kelapa sawit. Perempuan adat di Papua mengalami eksklusi dari proses pengambilan keputusan terkait wilayah adat, tersingkir dari ruang hidup dan sumber penghidupannya, dan berakhir sebagai buruh harian lepas di atas tanahnya.
Meskipun menghadapi tantangan kultural dan sosial yang besar dalam memperjuangkan haknya, perempuan adat terus menjadi garda terdepan perjuangan hak atas tanah, ruang hidup dan sumber penghidupan. Motif terbesar perempuan adat dari sikap resistensinya terhadap investasi berbasis tanah tersebut adalah kesadaran bahwa hutan, tanah, sungai dan udara merupakan bagian penting dan tak terpisahkan bagi kehidupan mereka.
Sumber:
Chandra, Wahyu 2021, ‘Negara Harus Lindungi Perempuan Adat Pembela HAM dan Lingkungan di Papua’, mongabay, 30 November 2021, dilihat 3 September 2023, https://bit.ly/46nOtQ8