Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli adalah momentum penting untuk mengingat kembali hak-hak anak. Ini bukan sekadar hari peringatan, melainkan pengingat bagi kita semua baik sebagai ibu, bapak, pengambil kebijakan, maupun anggota masyarakat biasa, bahwa anak-anak adalah bagian penting dari kehidupan dan masa depan kita bersama.
Anak-anak hari ini akan menjadi pemimpin masa depan. Maka, sangat penting bagi kita untuk memberikan pendidikan yang berakar dari rumah. Pendidikan yang menumbuhkan kasih sayang, membangun persahabatan, dan menanamkan penghormatan pada sesama, alam, dan Sang Pencipta. Pendidikan sejati dimulai dari rumah: dari cara anak-anak bermain dengan teman sebayanya, mengenal lingkungan sekitar, mencintai pohon-pohon, hewan, tanah tempat mereka berpijak. Di situlah pendidikan pertama berlangsung dari kasih sayang dan keteladanan orang tua.
Hari Anak juga seharusnya menyadarkan kita untuk tidak hanya fokus pada anak-anak kita sendiri, tetapi juga pada anak-anak lain yang kita temui. Mereka semua berhak tumbuh dalam lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan. Mereka butuh ruang untuk mengenali diri mereka, membayangkan masa depan mereka, dan meraih cita-cita sesuai dengan jati diri dan alam tempat mereka tumbuh.
Bagi kita yang berasal dari wilayah timur Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur, peringatan ini menyentuh lebih dalam. Terlalu sering, anak-anak kita diarahkan untuk menjadi pekerja di luar negeri demi ekonomi keluarga. Padahal, kampung kita kaya akan pengetahuan lokal, cerita tentang benang dan tenun, sejarah perjuangan perempuan, dan kearifan yang belum sempat diwariskan. Jangan biarkan anak-anak kita tumbuh tanpa mengenal akar mereka.
Mari kita buka lebih banyak ruang belajar di luar sekolah: sekolah tenun, sekolah kepemimpinan perempuan, dan tempat-tempat belajar yang membebaskan anak-anak untuk berkarya dan bermimpi. Anak-anak sangat suka pada hal-hal baru. Mereka punya semangat yang besar untuk mencipta, untuk mencoba, untuk tumbuh. Tugas kita adalah menemani mereka bukan dengan paksaan, tapi dengan cinta dan keteladanan.
Salah satu ruang belajar itu kini hadir dalam bentuk Sekolah Tenun Nausus, yang saya rintis bersama para perempuan Mollo di Nusa Tenggara Timur. Sekolah ini bukan sekadar tempat belajar menenun, tetapi juga ruang untuk menghidupkan kembali nilai-nilai, sejarah, dan kearifan lokal yang diwariskan dari leluhur. Di sana, anak-anak dan perempuan muda belajar mengenal tanah, mengenal pohon, mengenal benang dan cerita, dan dari situ membangun rasa cinta dan bangga pada identitas mereka. Sekolah Tenun Nausus menjadi ruang aman bagi anak-anak untuk menemukan kembali akar mereka sekaligus membayangkan masa depan yang mereka impikan.
Anak-anak bukan pencari nafkah yang harus dikirim jauh dari tanah kelahiran. Mereka adalah pohon-pohon muda yang sedang bertunas, yang perlu dirawat dan diarahkan agar bisa tumbuh tinggi dan kuat, tapi tetap berakar pada tanahnya sendiri.
Peringatan Hari Anak adalah pengingat bahwa masa depan Indonesia ada di tangan mereka. Maka mari kita jaga tanah ini, jaga kampung kita, dan jaga anak-anak kita agar mereka tumbuh menjadi manusia yang mencintai hidup, mencintai tanah, dan mencintai sesama.
Dengan penuh cinta dan harapan,
Aleta Baun, Nausus Mollo



