Makan Bergizi dan Harapan Akan Sumber Daya Manusia yang Unggul
Salam kasih dan hormat,
Saya menulis surat ini dengan penuh harap dan cinta untuk kalian, anak-anak tercinta di seluruh pelosok negeri, dan untuk para ibu yang setiap hari berjuang menghidupi keluarganya dari tanah yang terus mengalami tekanan.
Beberapa waktu lalu, saya mendengar bahwa pemerintah akan menjalankan program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk anak-anak sekolah, dari tingkat dasar hingga menengah. Saya mendengar program ini digaungkan sejak masa kampanye, dan kini mulai direalisasikan. Jujur saya, sebagai seorang ibu, merasa senang, ada harapan bahwa anak-anak kita bisa menikmati makanan bergizi. Tapi saya pun bertanya dalam hati: apakah benar-benar bergizi? Apakah benar-benar sampai ke semua anak?
Saya ingin mengingatkan diri saya sendiri dan juga menyampaikan kepada siapa pun yang membaca surat ini: soal makan bergizi bukan hanya tentang “gratisnya”, tapi tentang kualitasnya. Anak-anak butuh makanan yang benar-benar mengandung gizi, yang bisa membuat tubuhnya kuat dan pikirannya cerdas.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana di tempat saya tinggal, di wilayah timur Indonesia, khususnya Flores dan pulau-pulau di sekitarnya, anak-anak masih menghadapi masalah besar, yaitu kesehatan. Kita semua tahu, setiap tahun, daerah kami selalu masuk daftar daerah dengan angka stunting tertinggi. Ini menyakitkan. Dan saya percaya, kita tidak bisa hanya mengandalkan program-program dari atas. Kita sendiri harus bergerak.
Beberapa waktu lalu, saya membaca laporan dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Angkanya membuat saya terdiam cukup lama: selama tahun 2010 hingga 2023, terjadi peningkatan kasus diabetes sebesar 70 persen di kalangan anak-anak Indonesia. Terutama mereka yang berusia 10 hingga 14 tahun. Bayangkan, anak-anak kita yang seharusnya aktif bermain dan belajar, malah harus bergantung pada obat dan suntikan insulin. Belum cukup disitu. Jumlah penderita gagal ginjal di usia produktif juga meningkat drastis dari 25.446 pasien di tahun 2016 menjadi 69.124 pasien pada tahun 2019. Saya ulangi, ini bukan angka orang tua atau lansia. Ini angka usia produktif, yang sebagiannya adalah anak-anak muda.
Saya bertanya-tanya, dari mana datangnya semua ini? Saya melihat lagi di sekitar saya. Anak-anak kini tumbuh dengan minuman manis kemasan, makanan instan, dan camilan yang warnanya lebih mencolok daripada kandungan gizinya. Makanan lokal yang dulu kita tanam sendiri, kita masak sendiri pelan-pelan tergeser dari meja makan.
Saya pun tidak luput dari keadaan ini. Saya pernah memberikan makanan praktis pada anak saya, merasa itu cukup karena saya sibuk dan lelah. Tapi kemudian saya sadar, tubuh kecil anak kita butuh perhatian lebih dari sekadar kenyang. Butuh gizi, butuh kebaikan yang tumbuh dari tanah kita sendiri.
Saya mulai melihat sekeliling. Di tanah kami, tumbuh sorgum, kacang hijau, beras merah. Makanan yang dulu dianggap remeh, ternyata menyimpan gizi yang luar biasa. Maka saya dan kawan-kawan perempuan di kampung mulai menanam kembali. Kami mengajak masyarakat kembali ke pangan lokal. Bukan hanya untuk melestarikan benih, tapi untuk melestarikan hidup. Untuk melawan lapar, untuk menopang ekonomi keluarga, dan untuk menjaga anak-anak kami tetap sehat.
Saya tahu, tidak semua ibu punya lahan luas. Tapi banyak dari kita punya halaman, ember, pot, bahkan karung bekas yang bisa ditanam. Saya ingin menyampaikan bahwa makanan sehat bisa tumbuh dari kebun kecil kita sendiri. Kita hanya perlu kemauan, ketekunan, dan cinta.
Saya juga ingin menyampaikan ini kepada pemerintah: jika sungguh ingin menjalankan program MBG, maka pastikan makanannya benar-benar bergizi. Libatkan masyarakat. Rangkul gerakan-gerakan lokal yang sudah lama bekerja dalam isu pangan, seperti kami yang membudidayakan sorgum dan pangan endemik lainnya. Jangan hanya bicara soal anggaran dan angka, tapi dengarlah kebutuhan nyata yang kami rasakan di dapur dan di ladang. Termasuk janganlah merampas lahan-lahan pertanian untuk peruntukan proyek lainnya.
Anak-anak kita adalah harapan bangsa. Tapi mereka juga paling rentan. Mereka yang pertama kali jatuh saat gizi kurang. Mereka yang tubuhnya melemah sebelum mimpi mereka tumbuh. Maka jangan tunggu mereka tumbuh besar untuk diberi perhatian. Mulailah dari sekarang. Mulailah dari dapur sendiri.
Kepada para ibu, mari kita tanam apa yang bisa kita tanam. Kita olah apa yang bisa kita olah. Kita masak dengan tangan kita sendiri, dan kita sajikan cinta bersama setiap piring nasi dan semangkuk bubur sorgum. Mari kita jaga anak-anak kita. Ini bukan hanya tentang makan, ini tentang masa depan mereka.
Terakhir, kepada anak-anakku tercinta, makanlah makanan yang benar. Dengarkan tubuhmu. Jangan hanya pilih yang cepat dan enak di lidah. Pilihlah yang menyehatkan. Kuatkan tubuhmu, karena kamu akan jadi orang yang menentukan arah kampungmu, negerimu, dan mungkin dunia ini.
Dengan menanam, saya merasa saya menjaga kehidupan. Dengan memasak sorgum dan pangan lokal lainnya, saya merasa saya sedang menyayangi anak-anak saya. Saya ingin kalian juga merasakan hal yang sama.
Salam sorgum bergizi, sehat, dan berduit.
Dari saya,
Maria Loreta, Nausus Adonara



