web analytics
Home » Blog » Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
13-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat

Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat

“Saya mendapat bibit sorgum dari kampung”

Cerita Maria Loretha tentang awal mula mengenal tanaman sorgum. Di tahun 2000 Loretha bersama keluarga, boyongan pindah dari kota Malang dan tinggal di kampung lahir suami, Yeremias Dagang Letor, Flores Timur. Maria Helan tetangga barunya, menyuguhi menu masakan dari sorgum. Rasanya membuat Loretha terpikat.

Orang Lamaholot, suku yang mendiami kawasan Flores Timur hingga Lembata, menyebutnya wata blolong. Loretha bersama Yeri, panggilan suami, kesulitan mencari bibit sorgum saat berniat menanam. Karena saran teman, Loretha dan Yeri menemukan bulir sorgum warna merah di Desa Noba, Kecamatan Ile bura, sisi tenggara Pulau Flores. Sejak itu Loretha dan suami mulai menanam sorgum di lahan keluarga di Pajinian, Kecamatan Adonara Barat.

Sebetulnya sorgum merupakan pangan sehari-hari, selain jagung, padi ladang, umbi-umbian dan pisang. Hingga tahun 2000, kebiasaan itu masih berlangsung. Pulau Adonara yang didominasi lahan kering, hanya sebagian kecil yang bisa ditanami padi saat musim hujan. Karenanya beras dikonsumsi di kalangan terbatas atau saat acara khusus seperti ritual adat atau pesta.

“Dulu yang biasa makan nasi hanya pegawai negeri, polisi atau tentara”, kata Jack Carvalho yang lahir 60 tahun lalu di pedalaman Adonara. Itu yang membuat beras identik dengan makanan kalangan elit. Di NTT, makanan elit ini dikenalkan oleh Belanda melalui pembuatan padi sawah yang didukung gereja. Ladang-ladang padi beralih menjadi sawah dimulai dari Barat, daerah Manggarai. Sebagian ladang juga beralih menjadi kebun jambu mete pada rejim Orde Baru. 

Program beras miskin (raskin) yang bermaksud memberi perlindungan sosial masyarakat karena krisis ekonomi tahun 1998, makin mengubah kebiasaan pangan lokal. Semasa rejim Joko Widodo, nama program itu berubah menjadi beras sejahtera (rastra), hanya hakikatnya sama, memberi bantuan beras pada keluarga yang dikategorikan miskin. 

Dampaknya kian mendorong perubahan pola konsumsi pangan warga. Kini mayoritas orang-orang lebih biasa makan beras yang tidak ditanam sendiri, dibanding jagung dan umbi-umbian yang tumbuh di lahan sendiri. Bahkan untuk mendorong “swasembada pangan”, pemerintah melalui tentara Kodim 1624 dan Dinas terkait mencetak 100 ha sawah di Flores Timur, termasuk di Adonara Barat.

Makin mengenal sorgum membuat Loretha yakin tanaman pangan ini cocok ditanam di lahan kering dan lebih tahan terhadap cuaca ekstrim. Pada 2007, ia mulai serius belajar mengenai sorgum dan cara budidayanya. Proses belajar dan keyakinan itu di kemudian hari menghadirkan kembali ingatan tentang pangan leluhur.

Di Adonara, ada legenda Jedo Pare Tonu Wujo yang menceritakan pengorbanan saudara perempuan Lamaholot di masa kelaparan panjang. Lamaholot adalah suku yang mendiami wilayah Flores Timur dan Lembata. Pada suatu masa, terjadi bencana kelaparan menimpa siapa saja. Termasuk satu keluarga dengan delapan anak, tujuh laki-laki dan satu perempuan yang bungsu. Jedo, nama si bungsu ini, mengajak tujuh saudaranya untuk menebas hutan dan membuat kebun. 

Setelah kebun selesai dan hujan turun, ketujuh saudara Jedo tidak tahu apa yang akan ditanam. Dalam kebingungan itu, Jedo meyakinkan bahwa “lahan akan menyediakan bahan makanan yang melimpah”. Keesokan pagi di kebun, Jedo meminta tujuh saudaranya untuk menancapkan sebatang kayu di tengah lahan dan meminta menaruh batu ceper, bersisian dengan batang kayu.

Jedo duduk di batu ceper dan berkata pada kakak termuda. “Dengarlah cermat pesan saya, kerjakan apa yang saya minta. Jangan sedih dan takut, pesan ini sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa (Leran Wulan, Tana Ekan). Jedo meminta untuk memenggal kepalanya dan membiarkan darahnya mengalir ke segala penjuru kebun. “Setelah itu pulanglah dan kembali setelah enam hari”, demikian kata Jedo. Dengan hati berat saudaranya melaksanakan pesan itu.

Enam hari kemudian, setiba mereka di kebun sudah tumbuh berbagai tanaman pangan. Seperti padi (taha), labu (besi), jawawut (weteng), jagung (wata), sorgum (wata blolong), dan beragam pangan lain. Cerita tersebut ternyata masih diingat hingga saat ini, yang sebetulnya memberi pelajaran bahwa lahan adalah tempat tumbuh beragam tanaman pangan. Karenanya keseragaman pangan harus dihadapi dengan waspada dan sikap awas. Pelajaran lainnya, perempuan memiliki peran penting dalam pangan orang Lamaholot.

Pada 2014 warga di Likotuden, Desa Kawalelo, Flores Timur, mulai didampingi Loretha untuk mengembangkan sorgum melalui kelompok tani. Di kawasan ini curah hujan hanya 2-3 bulan dalam setahun, sementara kondisi lahan batu bertanah. Petani menanam sorgum tanpa pupuk. Dalam setahun bisa 2-3 kali panen. Mereka tadinya hidup tergantung pada beras subsidi. Seusai panen sorgum, mereka berdaulat pangan dan menolak bantuan beras dari pemerintah.

Maria Loretha yang dikenal dengan “mama sorgum”, melalui gerakan bertani di lahan kering, memberi pendampingan budidaya sorgum yang tersebar di 8 kabupaten, seperti Flores Timur, Ende, Sikka, Nagekeo, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao, dan Lembata. Dia berharap, upayanya membuat pemerintah aktif mendukung dan mempermudah petani Adonara, Flores dan pulau-pulau sekitarnya memulihkan sorgum sebagai sumber pangan yang terjangkau oleh penduduk. 

1-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Musim tanam padi di Waibelen, Desa Waiwadan, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, NTT. Sebagian besar sawah adalah tadah hujan, hanya bisa ditanam saat musim hujan. Sebelum tahun 1970, tak ada sawah di Pulau Adonara. Presiden Soeharto saat itu membuka lahan untuk pemukiman rakyat, perkebunan dan sawah di sekitar Desa Waiwadan dan Pajinian.
2-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Keluarga besar petani di Desa Waiwadan, Kabupaten Flores Timur, NTT, bercengkerama seusai menanam padi seharian. Perkara menanam padi, jagung atau sorgum, selalu melibatkan keluarga besar; begitu juga di saat panen.
3-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Beras di pelabuhan Pasar Waiwadan, Pulau Adonara. Kebijakan beras sejak Orde Baru hingga kini, mengubah pola konsumsi hanya mengacu pada beras, meski di kawasan yang mustahil ditanam padi. Karenanya beras harus dipasok dari luar kawasan.
4-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Hari pasar di Waiwadan, Pulau Adonara, satu hari dalam seminggu. Sejumlah warga bersiap pulang, menunggu di bis kayu. Adalah truk yang dipasang kursi penumpang di bak, merupakan transportasi publik di sebagian besar dataran Flores.
5-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Maria Loretha bersama Jack Carvalho, warga Desa Pajinian, sedang menanam sorgum. Lahan yang ditanami sebelumnya merupakan lahan sorgum. Sebelum ditanami, ilalang dan rerumputan di lahan dibabat dan dibakar. Sorgum ditanam pada lubang-lubang tugal yang sudah disiapkan, tanpa mengolah tanah.
6-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Bulir sorgum yang dilepaskan kulit luar (pericarp) menggunakan mesin. Penyosohan bermanfaat untuk mengurangi kadar tanin dan membuat biji sorgum lebih lembut.
7-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Lusia Lipat Narek mengumpulkan biji sorgum seusai dijemur di halaman kompleks Yayasan Agro Sorgum Flores (Yasores), yayasan diinisiasi oleh Maria Loretha dan suaminya, Yeremias Dagang Letor.
8-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Lusia Lipat Narek dan Maria Mariana Tukan, menampi dan memilah biji sorgum untuk dikemas, di pekarangan kompleks Yasores. Sebagian sorgum dibuat tepung atau sereal.
9-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Memilah biji sorgum dalam tampah bambu. Proses pemilahan ini diperlukan untuk mendapat biji sorgum yang bagus.
10-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Gugusan tanaman sorgum di tepi pekarangan rumah di Wuakerong, Pulau Lembata, NTT. Onny, si empu pekarangan, di musim panen sebelumnya memilah biji sorgum di tepi pekarangan itu. Saat musim penghujan tiba, di lokasi itu berubah menjadi kebun sorgum.
11-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Yeremias Dagang Letor menggiling sorgum untuk menjadi tepung. Sebagian tepung sorgum nantinya diolah menjadi sereal. Sementara Fransiskus Alexander Weleng, menyosoh biji sorgum.
12-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Veronika Debiani Tulit dan Antonia Julifa Lipat, menakar dan mengemas sereal sorgum di kompleks Yasores.
13-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Kebun-kebun jagung dan sorgum di Witihama, Pulau Adonara. Sejak membudidaya sorgum, mereka bisa menanam di musim kemarau.
14-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Spanduk perayaan komuni pertama, dengan latar belakang foto kebun sorgum yang hampir panen, di ruang tamu keluarga Jevri. Komuni pertama atau sambut baru, istilah yang biasa dipakai di dataran Flores, merupakan ritus penting bagi penganut agama Katolik atau Kristen. Jevri sengaja memasang foto itu karena bangga pada sorgum.
15-Ingatan Pangan Lelulur Yang Perlahan Jadi Jalan Selamat
Maria Betekeneng bersama keluarganya, mulai membudidaya sorgum sejak 2019. Perkara kebutuhan pangan dalam keluarga Maria tercukupi sejak itu, bahkan ia bisa menjual. Di masa-masa awal panen, Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel), yang turut mendampingi saat awal menanam, ikut membantu penjualan sorgum. Hanya saat program Yaspensel selesai, Maria masih kesulitan menjual sorgum di pasar kampung. Beras masih menjadi komoditi pangan yang digemari.

Foto & Teks:
Albertus Vembrianto 

Scroll to Top