Undang-undang ini mengatur jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban yang memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana di Indonesia dan didorong sejak tahun 2001 oleh masyarakat sipil.
Undang-undang ini juga adalah bagian dari ratifikasi UN Convention Against Corruption pada tahun 2003. Dalam pasal 32 dan 33 konvensi ini disebutkan bahwa kepada setiap negara peratifikasi wajib menyediakan perlindungan yang efektif terhadap saksi atau ahli dari pembalasan atau intimidasi termasuk keluarganya atau orang lain yang dekat dengan mereka. Saksi dan Korban seringkali tidak dapat mengungkap kebenaran dalam peradilan karena hal tersebut.
Melalui undang-undang yang akhirnya disahkan pada 2006 ini keterangan saksi dan korban dalam proses peradilan dapat diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman sehingga dapat mengungkap suatu kejahatan tindak pidana, termasuk bagi saksi dan korban dalam konteks perempuan pejuang HAM dan lingkungan hidup di Indonesia saat ini.
Dijelaskan dalam Pasal 10 (1) “Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik.”
UU ini juga melahirkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (disingkat LPSK) yang merupakan lembaga nonstruktural yang didirikan dan bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban, termasuk bagi mereka yang merupakan perempuan pejuang HAM dan Lingkungan Hidup.
Sumber:
Presiden Republik Indonesia 2014, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dilihat 12 September 2023, https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/1613.pdf