web analytics
Home » Blog » Membaca Kelindan Hukum dan Krisis Ekososial Melalui Kacamata Teori Hukum Ekofeminis
Membaca Kelindan Hukum dan Krisis Ekososial Melalui Kacamata Teori Hukum Ekofeminis

Membaca Kelindan Hukum dan Krisis Ekososial Melalui Kacamata Teori Hukum Ekofeminis

Salsabila Khairunisa
Latar Belakang

Krisis iklim yang kini tengah kita hadapi sebagai akibat dari meningkatnya suhu rata-rata bumi tidak hanya kian memperparah krisis ekologi yang telah lama terjadi, tetapi juga krisis sosial yang lahir dari ragam bentuk ketimpangan yang terlembagakan dalam sistem hari ini. Ekofeminisme sebagai salah satu cabang aliran pemikiran feminisme mencoba menautkan bagaimana dominasi manusia terhadap alam yang menjadi pangkal dari krisis ekologi hari ini, berangkat dari logika yang sama dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan oleh sistem patriarki. Dominasi yang kemudian membuahkan penindasan terhadap perempuan dan alam mewujud dalam berbagai hal, salah satunya melalui sistem hukum.

 

Dalam sistem patriarki, hukum sebagai seperangkat norma yang mengatur perilaku masyarakat tidak pernah memperhitungkan pengalaman ketubuhan perempuan dan selalu berangkat dari abstraksi kesetaraan (equality), meskipun indikator ‘kesetaraan’ tersebut hanya mengacu pada pengalaman laki-laki yang berada pada posisi superior dan penuh privilese dalam masyarakat.

 

Di saat yang bersamaan, hukum juga sering dijadikan sebagai instrumen untuk memuaskan nafsu pembangunan para penguasa melalui pembongkaran sumber daya alam di berbagai tempat. Pembongkaran ini berujung pada kerusakan bentang alam yang kemudian bermuara pada krisis ekologi yang intensitasnya kini kian parah.

 

Sebagai kelompok gender rentan yang akses dan haknya atas pengelolaan sumber daya alam telah dicerabut oleh sistem patriarki, perempuan akhirnya bersandar pada sumbu opresi yang berlapis. Di satu sisi perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak oleh krisis ekologi, di sisi lain perempuan masih terus diperhadapkan oleh sistem hukum yang abai terhadap suara dan kehadirannya, bahkan dalam upayanya untuk mencari keadilan (justice-seeking process).

 

Merespon situasi tersebut, teori hukum ekofeminis menawarkan sebuah pendekatan dekonstruktif yang tidak hanya menekankan pentingnya pelibatan perspektif perempuan dalam membaca fenomena hukum, tetapi juga membongkar cara pandang antroposentris dalam memandang fenomena ekologi-sosial yang mengitari kita dengan mengedepankan keterikatan (embeddedness) antara manusia dan alam tempatnya berada serta melampaui dualisme kartesian yang telah menjadi pondasi kehidupan masyarakat modern hari ini.

Feminist Jurisprudence: Bagaimana Teori Feminisme Membaca Hukum?

Secara prinsip, jurisprudence (hukum) merupakan arena studi yang mengkaji hukum secara ilmiah. Teori hukum feminis (feminist jurisprudence) mengacu pada kajian hukum yang menggunakan pendekatan gender dalam melakukan pembedahan terhadap norma-norma dan peristiwa hukum yang berlangsung ditengah masyarakat.

 

Pendekatan gender ini menjadi penting karena dalam kacamata teori feminis, gender sebagai kategori analisis tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang tunggal sebab ia berkait-kelindan dengan sistem hierarki yang berlaku ‘umum’ di masyarakat. Maka dari itu, feminisme sebagai suatu gagasan dan proyek pembebasan tidak hanya membatasi arena kajiannya pada konteks gender, namun juga menghubungkannya dengan tataran suprastruktur, seperti lembaga politik, agama, dan sistem hukum, dimana perempuan dikategorikan sebagai kelompok tertindas (the oppressed) pada seluruh institusi tersebut.

 

Teori hukum feminis memandang hukum sebagai seperangkat norma yang lahir hanya dari sudut pandang laki-laki. Hal ini dimungkinkan terjadi karena dalam masyarakat yang patriarkis, sudut pandang laki-laki mendominasi ranah sipil kehidupan bermasyarakat dan dikonstruksikan sebagai ‘standar objektif’ untuk menjelaskan hubungan antara hukum dengan kehidupan secara tepat dan aktual.

 

Subordinasi terhadap perempuan sebagai buah dari pelembagaan sistem patriarki menyebabkan perempuan tidak dapat berpartisipasi secara aktif dalam merancang sistem hukum dan politik yang kelak mengatur hidupnya. Keadaan ini kemudian berimplikasi pada hilangnya pengalaman perempuan dalam kebijakan-kebijakan yang dihasilkan negara. Pengalaman dan suara perempuan tersebut disamarkan oleh ‘standar objektif’ hukum tadi yang sejatinya hanya melibatkan sudut pandang laki-laki sebagai kelompok dominan dalam masyarakat patriarkis.

Merespon situasi tersebut, metode feminis mengadopsi realitas ketimpangan antara perempuan dan laki-laki sebagai titik tolak kajiannya untuk kemudian dijadikan basis dalam mendorong pelibatan pengalaman sosial dan ketubuhan perempuan melalui peningkatan kesadaran (consciousness-raising) secara kolektif. Teori hukum feminis dipandang sebagai kacamata yang tepat untuk membedah struktur hukum yang maskulin karena ia mampu mengidentifikasi bentuk-bentuk penindasan terhadap perempuan yang ‘disamarkan’ dan dilembagakan melalui sistem hukum itu sendiri.

 

Menurut Catherine A. MacKinnon, salah seorang pemikir teori hukum feminis, kesetaraan yang hakiki memerlukan perubahan, bukan hanya refleksi. Ia memerlukan perubahan yang dapat menghasilkan filsafat hukum (jurisprudence) baru; sebuah pembaruan relasi antara kehidupan dan hukum yang selama ini didominasi oleh corak superioritas laki-laki. Maka dari itu, teori hukum feminis berusaha untuk memahami realitas perempuan secara utuh dengan mendorong turut disertakannya pengalaman dan perspektif perempuan dalam pembedahan atas fenomena hukum yang berlangsung ditengah masyarakat, khususnya dalam konteks perumusan norma-norma hukum yang terkodifikasi, guna mencapai kehidupan bermasyarakat yang lebih adil dan setara.

 

Ekofeminisme Sebagai Titik Temu Penindasan Alam dan Perempuan

Sama halnya dengan aliran pemikiran feminisme yang mengkritik keterpisahan gender dari realitas opresif yang melingkupinya, ekofeminisme juga mengkritik keterpisahan tersebut namun dengan konteks yang lebih luas, yakni keterpisahan antara manusia dengan alam yang menjadi ruang hidupnya. Dengan demikian, ekofeminisme memberikan kita kacamata untuk melihat relasi keterhubungan (embeddedness) yang melampaui interaksi antarmanusia (beyond-humans), dimana ia menegaskan bahwa penindasan yang dilakukan oleh sistem patriarki terhadap perempuan berangkat dari alam pikir yang sama dengan penindasan peradaban modern terhadap alam.

 

Ekofeminisme memandang bahwa peradaban ‘modern’ hari ini atau yang disebut juga sebagai sistem ‘kapitalis-patriarkal’ lahir dari alam pikir yang mendikotomi realita kedalam dua entitas yang terpisah, yakni realitas yang senantiasa berada pada posisi superior dan terus berkembang dengan mengorbankan realitas yang lain. Relasi antara dua realitas ini bersifat memangsa (predatory), dimana terjadi subordinasi manusia terhadap alam, laki-laki terhadap perempuan, produksi terhadap konsumsi, global terhadap lokal, dan seterusnya.

 

Dikotomisasi realita tadi dianggap sebagai buah dari dualisme Kartesian yang memisahkan keterpautan antara tubuh manusia dengan alam melalui penekanannya terhadap superioritas akal manusia (cogito ergo sum). Dualisme Kartesian ini kemudian menjadi basis pondasi pemikiran sains modern yang melahirkan paradigma sains ‘reduksionis’, dimana alam direduksi hanya sebagai komoditas untuk kebutuhan produksi.

 

Sebagai sebuah aliran pemikiran, ekofeminisme menawarkan cara pandang baru yang utuh dan menyeluruh dalam melihat relasi keterhubungan tadi, yakni bagaimana pembebasan perempuan tidak akan tercapai tanpa adanya upaya pembebasan terhadap alam melalui penghapusan logika-logika antroposentris yang memusatkan realitas kehidupan pada pengalaman ketubuhan manusia saja. Hal ini dikarenakan dalam kacamata ekofeminisme, pangkal opresi terhadap perempuan dan alam pada hakikatnya adalah sama, yaitu dikotomisasi realita secara struktural yang dikemas dalam bingkai ‘sains modern’.

naususu
Perempuan penenun Foto: Tim MAF
Kelindan Hukum dan Krisis Ekososial Melalui Kacamata Teori Hukum Ekofeminis

Bertolakbelakang dengan tesis separasi (separation thesis) yang memandang realitas masyarakat sebagai kumpulan dari individu-individu tunggal yang tidak bertautan dengan individu manusia atau individu diluar manusia (beyond-humans), irisan antara teori hukum feminis dengan aliran pemikiran ekofeminisme menyuguhkan kepada kita sebuah tesis keterhubungan (connection thesis) sebagai narasi tanding terhadap dualisme peradaban modern yang destruktif.

 

Sama halnya dengan teori hukum feminis, aliran pemikiran ekofeminis juga berpandangan bahwa konsepsi moral dan hukum, seperti ‘hak’ dan ‘kontrak sosial’ tidak cukup relevan untuk mengakomodir kebutuhan entitas-entitas yang eksistensinya tidak dapat direduksi kedalam bingkai individualitas tunggal yang atomik, dimana ia tidak dapat menjadi ada dan mengada tanpa menimbang keterpautannya dengan keberadaan entitas lain. Misalnya, seorang anak dengan orangtuanya, kakak dengan adik, paman dengan keponakan, atau hewan dengan tumbuhan.

 

Perbedaan antara keduanya hanyalah terletak pada luas cakupannya. Jika teori hukum feminis hanya mengidentifikasi bagaimana kehidupan manusia telah mengalami dikotomi sedemikian rupa hingga melahirkan ragam bentuk subordinasi dan opresi, maka aliran pemikiran ekofeminis memperluas cakupan analisisnya dengan menyertakan dualisme alam/kebudayaan yang melahirkan asumsi bahwa manusia, baik perempuan ataupun laki-laki, hidup secara independent dan bebas dari cara kerja alam.

 

Krisis ekologi dan sosial (ekososial) yang kini terjadi dan diperparah oleh meningkatnya suhu rata-rata bumi akibat pelepasan gas rumah kaca berlebihan ke atmosfer dipandang sebagai buah dari dikotomisasi tadi. Maka dari itu, perpaduan antara aliran pemikiran ekofeminis dengan teori hukum feminis yang kemudian mewujud dalam teori hukum ekofeminis menjadi satu tawaran gagasan yang relevan guna merespon situasi tersebut.

 

Teori hukum feminis yang dipadukan dengan perspektif ekologi akan berusaha membongkar bagaimana perusakan lingkungan berhubungan erat dengan ketimpangan kelas, ras, dan gender. Dalam kacamata teori hukum yang ‘ekofeminis’, hukum dipandang bukan hanya sebagai abstraksi atau konvensi, melainkan sebagai mediator hubungan yang membentuk interaksi kita dengan realitas yang melingkupi kita. Maka dari itu, hukum perlu memperhitungkan keterhubungan (embeddedness) manusia dengan alam, baik dengan entitas manusia maupun diluar manusia, secara utuh.

Membedah Fenomena Hukum Menggunakan Teori Hukum Ekofeminis

Pada tataran praktis, pendekatan teori hukum ekofeminis ini dapat digunakan sebagai kacamata untuk melihat bagaimana berbagai krisis ekologi terjadi karena tidak dilibatkannya suara komunitas lokal, khususnya perempuan, dalam penerbitan izin lingkungan untuk proyek-proyek ekstraktif di kawasan rural. Salah satu contohnya dapat kita lihat lewat gugatan izin lingkungan PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) yang diajukan oleh 56 perempuan Sangihe ke PTUN Manado pada pertengahan 2022 lalu. Para perempuan Sangihe menggugat izin lingkungan tersebut lantaran aktivitas pertambangan emas akan menghasilkan residu logam berat yang dapat mengontaminasi sumber air mereka, dimana sumber air tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, seperti masak dan minum untuk seluruh anggota keluarga, termasuk anak-anak mereka.

 

Melalui gugatan ini, kita dapat melihat bagaimana perusakan lingkungan dalam bentuk pencemaran air dan tanah akibat logam berat hasil kegiatan tambang emas berkaitan erat dengan tidak dilibatkannya masyarakat luas tempat proyek tambang akan beroperasi, terutama kelompok perempuan, dalam proses penerbitan izin lingkungan yang dilakukan oleh dinas lingkungan hidup setempat.

 

Gugatan yang diajukan oleh 56 perempuan Sangihe juga menekankan aspek antar-generasi, yakni bagaimana dampak perusakan lingkungan PT. TMS tidak hanya menyasar para orang dewasa, tetapi juga masa depan anak-anak mereka sehingga kacamata keberlanjutan menjadi salah satu titik berat dalam gugatan. Pendekatan yang antisipatif ini bersesuaian dengan corak teori hukum ekofeminis yang cukup dipengaruhi oleh aliran feminis sosialis dalam memandang bahwa hakikat manusia berangkat dari sebuah ontologi keterikatan (ontology of embeddedness).

 

Ontologi keterikatan ini menjelaskan bahwa pada setiap tingkatan eksistensi, manusia senantiasa bergantung pada manusia lain dan entitas diluar manusia (beyond-humans) untuk bertahan hidup karena ia dikondisikan oleh suatu kebutuhan biologis. Maka dari itu, dalam mempercakapkan ‘hak’, tidak mungkin hanya melimitasi cakupannya dalam konteks individu tunggal yang atomik dan mekanistik (misal: orang dewasa), sebagaimana doktrin hukum beroperasi selama ini. Konteks hak individu perlu dan wajib ditautkan dengan hak individu lain, termasuk hak anak dan juga hak alam.

 

Meskipun PTUN Manado mengabulkan gugatan 56 perempuan tersebut, PT.TMS mengajukan banding ke PTTUN Makassar dan akhirnya dikabulkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum masih berkutat pada sekat-sekat administratif yang faktualnya tidak lepas dari intrik politik, alih-alih berusaha melihat realitas yang dihadapi masyarakat Sangihe dalam kerangka keterhubungannya (embeddedness) dengan alam dan lapis-lapis sumbu opresi yang menyertainya, seperti ketimpangan kelas dan gender yang nampak terlihat.

 

Disamping itu, melampaui pembedahan yang kasuistik, teori hukum ekofeminis juga dapat digunakan untuk membedah doktrin subjek hukum yang sangat antroposentris dan kaitannya dengan upaya penyelamatan lingkungan. Subjek hukum hari ini masih membatasi konteks hak dan kewajiban hukum hanya pada entitas manusia (natuurlijkperson) dan badan hukum (rechtsperson). Bertolak dari doktrin ini, entitas non-manusia yang tidak masuk dalam kategori badan hukum, seperti pohon, sungai, gunung, ikan, burung, atau orangutan bukanlah merupakan subjek hukum dan oleh karenanya ia tidak mempunyai hak.

 

Padahal, jika kita menggunakan kacamata keterhubungan (embeddedness) tadi, hak dan kewajiban entitas diluar manusia, seperti hewan atau tumbuhan, dapat kita lihat lewat rantai ekosistem yang ditopang oleh relasi kodependensi antarmakhluk hidup. Misalnya, orangutan mempunyai hak untuk dapat hidup tanpa ancaman hilangnya ruang hidup mereka menjadi kebun sawit karena mereka memikul kewajiban (peran) dalam menyediakan makanan bagi manusia melalui penyerbukan buah-buahan hutan.

 

Implikasi dari doktrin subjek hukum yang sangat antroposentris ini terletak pada upaya pemulihan ekosistem yang kemudian harus menunggu dampak kerugiannya terlebih dahulu kepada manusia. Dalam konteks krisis ekososial yang tengah kita hadapi, cara pandang yang demikian hanya akan menunda penghancuran alam, bukan menghentikannya. Kacamata keterhubungan ini sebenarnya sudah hadir dalam konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liability) pada Pasal 88 UU PPLH. Namun, sayangnya, konsep pertanggungjawaban mutlak ini dihapuskan dalam UU Cipta Kerja.

 

Terlepas dari realita betapa suramnya sistem hukum kita hari ini, kacamata hukum feminis yang berperspektif ekologi dapat membantu kita melihat interseksionalitas beragam konflik ekologi dan sosial yang terjadi di sekitar kita. Bagaimana penindasan terhadap gender sejatinya tidak lepas dari penindasan terhadap alam, eksklusi pengetahuan, ketimpangan kelas, dan sebaliknya. Kacamata hukum ekofeminis memungkinkan kita untuk membaca fenomena sosio-ekologi secara utuh dan menyeluruh, melampaui fragmentasi sektoral yang dihasilkan oleh dikotomisasi destruktif peradaban modern hari ini.

 

Kesimpulan

Berangkat dari teori hukum feminis (feminist jurisprudence) dan aliran pemikiran ekofeminis, sebuah pendekatan hukum ekofeminis menjadi tawaran gagasan untuk merespon krisis eko-sosial yang kini tengah berlangsung. Teori hukum feminis yang berperspektif ekologi dipandang mampu membongkar bagaimana perusakan lingkungan berhubungan erat dengan ketimpangan kelas, ras, dan gender yang berhubungan erat dengan bagaimana norma dituangkan dan diterapkan dalam sistem hukum. Dalam kacamata teori hukum yang ‘ekofeminis’, hukum dipandang bukan hanya sebagai abstraksi yang ‘universal’, melainkan sebagai mediator hubungan yang membentuk interaksi kita dengan realitas yang melingkupi kita. Maka dari itu, hukum yang ekofeminis perlu memperhitungkan keterhubungan (embeddedness) manusia dengan alam, baik dengan entitas manusia maupun diluar manusia, secara utuh.

Leave a Comment

Scroll to Top